Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bank Indonesia (BI) di saat pandemi global Coronavirus Disease (Covid-19) ini telah menunjukkan andilnya dalam pelelangan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara. Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabiltas Sistem Keuangan untuk Penangan Pandemi Covid-19 sebagai dasar hukum BI untuk merealisasikan pembelian Sukuk Negara di pasar perdana. Ditargetkan pemerintah, penjualan obligasi syariah itu sebesar Rp 7 triliun sampai Rp 14 triliun.
BI sebagai noncompetitive bidder dari total penerbitan Rp 9,8 triliun telah menyerap sebesar Rp 1,7 triliun. Noncompetitive bidding (penawaran pembelian nonkompetitif) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil yang diinginkan penawar.
Dengan alasan sebagai the lender of last resort (tempat terakhir) BI tidak menyerap terlalu banyak dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 38/PMK/02/2020 tentang penanganan Covid-19 BI harus menyerap Sukuk Negara maksimal 30%. Serapan Sukuk Negara sebesar itu diharapkan pengendalian inflasi bisa stabil dan lebih terukur apalagi pemerintah telah didukung oleh ADB, Bank Dunia, dan penerbitan global bond.
Sementara itu dikabarkan, dunia perbankan diprediksi mengalokasikan dana sebesar Rp 100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Dan hal ini dinilai selaras dengan kebijakan keuangan BI yang melakukan peningkatan rasio penyangga likuiditas makroprudensial dan penurunan rasio giro wajib minimum.
Dana partisipasi perbankan sebesar Rp 100 triliun ini adalah sebagian dari kerangka penyerapan obligasi untuk pembiayaan defisit yang akan memengaruhi besaran imbal hasil. Walaupun di lain hal dan masih dalam situasi yang sama yakni karena Covid-19, penurunan suku bunga deposito dan kredit industri perbankan malah menjadi tren karena berlangsung dalam beberapa bulan terutama setelah BI memamangkas suku bunga acuan.
Keputusan BI dalam membeli Sukuk Negara senilai Rp 1,7 triliun tersebut seharusnya bisa lebih besar lagi. Dalam keadaan seperti ini tentunya pasar keuangan belum normal, dan apa kabar pula jika melihat keadaan keuangan syariah. Kemudian dari keputusan ini harapannya daya beli masyarakat mengalami dampak yang baik walaupun pandemi Covid-19 ini membawa kelesuan yang luar biasa terhadap pertahanan ekonomi. Karena, pada kenyataannya masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran atau berhemat dalam mengalokasikan dana tunainya ke skala prioritas rumah tangga.
Di sisi yang sama dan sama-sama merasakan dampak Covid-19, industri perbankan juga terlihat kesulitan. Jika hasil dari kebijakan BI akan dikucurkan ke perbankan maka akan sulit tersalurkan juga ke pihak ketiga karena minat akan kredit/pembiayaan dan bisnis di banyak sektor tengah menciut.
Saat pemerintah yang telah menerbitkan surat utang dollar Amerika Serikat sebesar US$ 4,3 miliar dan ditambah penerbitan SBSN baru-baru ini, rasio utang negara mencapai 30% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Dan itu masih terbilang aman dari batas maksimal 60% dari PDB. Akan tetapi jika terus beranggapan dengan bahasa “masih aman” sementara realisasi penyaluran utang ini tidak cermat (tidak pas sasarannya) maka akan terlihat kontraproduktif plus menambah beban keuangan negara dalam waktu yang lama. Kini BI telah masuk ke pasar Surat Utang Negara primer semoga bisa menawarkan keadaan ekonomi dan keuangan yang sedang tidak baik.
Pemerintah harus wawas diri terhadap potensi moral hazard (risiko moral). Dalam bidang ekonomi risiko moral akan terjadi saat orang/ pemerintah meningkatkan paparannya terhadap risiko yang ditanggung; dapat terjadi saat misalnya orang/pemerintah mengambil lebih banyak risiko karena orang lain menanggung biaya dari risiko-risiko tersebut.
Risiko moral ditandai saat tindakan salah satu pihak bisa merugikan pihak yang lain setelah adanya transaksi keuangan. Jika melihat dari sektor perbankan sudah pastinya masyarakat menginginkan keringanan dalam membayar utangnya. Oleh karena itu kebijakan dalam asas berkeadilan haruslah jelas dan detail yang mengatur debitur dan skala prioritas untuk siapa relaksasi diberikan.
Melalui Perppu yang telah diberlakukan, pemerintah telah memberikan kesempatannya melalui penyertaan dana negara, insyaallah inilah upaya yang terbaik bagi masyarakat. Dana negara ini harus dimanfaatkan dengan pengawasan yang jelas dan tegas agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
Perbankan syariah juga sebagai wadah paling penting dalam usaha menjaga pertahanan ekonomi dan keuangan berdasarkan asas keadilan dan tolong-menolong, serta fitur atau produk keuangan syariah harus menjadi yang paling memberi solusi terhadap situasi pandemi dan pasca-pandemi nanti.
Satu lagi, fungsi perbankan sebagai financial intermediary jangan sampai kehilangan marwahnya sebagai penolong masyarakat. Risiko moral insyaallah jauh dari apa yang dikhawatirkan, selanjutnya semoga pandemi ini segera berakhir atas kekuatan doa dan usaha semua serta kuasa Allah Tuhan Yang Maha Esa, amin.
===
Penulis saat ini aktif dalam kegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika UIN SU dan merupakan mahasiswa Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN SU.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]