Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kita kaget ketika kepolisian berhasil membongkar skenario Erlina Boru Sihombing (54) atas pengakuannya dibegal, sehingga menyebabkan keempat jari kirinya putus. Ternyata warga Jalan AR Hakim, Gang Rahayu, Kecamatan Medan Area, Kota Medan tersebut berbohong agar mendapatkan asuransi untuk menutupi utangnya.
Rupanya dia, seperti diungkapkn oleh kepolisian pada Jumat, 15 Mei lalu, memiliki utang kepada 5 orang. Dia berharap utangnya tersebut dapat dihapuskan oleh yang memberikan utang karena rasa kasihan.
Ternyata terduga pelaku begal yang sebelumnya ditangkap, tidak ada yang mengaku telah melakukan aksi begal tersebut. Nah, polisi pun melakukan berbagai investigasi dan akhirnya terungkap bahwa semua itu adalah rekayasa. Erlina diduga telah membuat laporan palsu.
Pembaca, inilah playing victim. Sebuah “sandiwara” seolah-olah Erlina adalah korban. Marilah kita tunggu persidangannya kelak di meja hijau, sehingga terungkap kapan dan di mana Erlina memotong jari-jarinya. Tentu dengan alat bukti yang cukup menurut hukum.
Dalam kesempatan ini, saya ingin bercerita tentang victim blaming. Inilah, sikap masyarakat yang menyalahkan korban dalam sebuah peristiwa di mana terdapat korban dan pelaku.
Tentu saja berbeda dengan kasus Erlina. Dalam victim blaming, orang lebih menyalahkahkan korban, dan seakan-akan luput menyalahkan si pelaku.
Misalnya, dalam sebuah kasus pemerkosaan. orang lebih cenderung mempersoalkan pakaian korban yang seronok, sehingga mendorong minat pelaku. Atau karena korban yang nekad pulang malam sendirian sehabis bekerja..
Contoh lain dalam kasus perampokan perhiasan gelang emas seorang ibu. Orang menyalahkannya karena seolah pamer di depan umum sehingga perampokan itu pun terjadi. Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual mapun perampokan yang terjadi pada dirinya.
Kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, sebuah ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh. Perempuan diposisikan sebagai subordinat.
Terkadang, media juga secara tak sadar seakan-akan ikut menyalahkan korban. Tak pelak, perempuan korban kekerasan pun mengalami penderitaan ganda. Sudahlah diperkosa (atau dirampok, eh, disalahkan pula.
Sikap menyalahkan korban harus dilawan dengan mengubah cara pandang kita terhadap masalah kekerasan. Cobalah, menghargai mode pakaian yang dikenakan orang. Lalu, kendalikanlah iman Anda sendiri.
Judul berita seperti “Pegawai Bank Sexy, Tewas Dibunuh Setelah Diperkosa,” sesungguhnya mengerikan. Apalagi digambarkan pula bentuk tubuhnya, bibirnya yang sensual dan sebagainya.
Kalimat yang eye catching itu mungkin bisa menarik minat banyak pembaca. Oplah laris manis. Akan tetapi bisa merusak dan mempengaruhi logika berpikir masyarakat.