Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kita masygul meyimak tagar dan video 'Indonesia Terserah' yang ramai belakangan ini di media sosial. Inilah, narasi kekecewaan terhadap penanganan Corona di Indonesia.
Topik tersebut banyak diunggah oleh tenaga medis, dan lalu dibagikan oleh para tenaga medis. Seolah-olah mereka menyiratkan, sudah tidak bisa berkata-kata (lagi) dengan kerumunan yang justru marak belakangan ini.
Memang sebuah ironi. Ketika banyak tenaga medis yang berjuang mengobati pasien Covid-19, dan korban yang semakin bertambah, tetapi kerumunan orang semakin ramai. Contohnya. di berbagai bandara, pasar dan tempat-tempat umum. Jalanan di Jakarta malah macet dan orang membludak berbelanja di Paar Tanah Abang.
Logika yang muncul semestinya masyarakat harus meningkatkan kesadaran untuk mematuhi protokol jaga jarak, memakai masker, dan tetap di rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak.
Padahal, sudah banyak tenaga medis yang tidak pulang sejak dua bulan terakhir. Terpaksa berpisah dengan keluarga. Namanya juga manusia, tak mustahil semangat mereka bisa luntur.
Kisah ini bahkan mendapatkan sorotan dari media asing. Seperti diberitakan oleh Reuters, Senin (18/5/2020), tagar tersebut adalah sebagai respons atas kebijakan pemerintah Indonesia terhadap pandemi corona dan perilaku banyak orang Indonesia.
Bahkan, ada dokter yang marah dengan pelonggaran larangan penerbangan yang menyebabkan penumpang membanjiri bandara Jakarta. Masyarakat pun dinilai mengabaikan pedoman tentang jarak sosial.
Padahal, seperti ditulis oleh Reuters, kematian tertinggi akibat Covid-19 justru Indonesia memiliki jumlah tertinggi di Asia Timur di luar Cina.
Namun Reuters yang mengkonfirmasi kepada Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, memperoeh jawaban bahwa tidak ada pelonggaran kebijakan jarak sosial meskipun ada revisi pembatasan perjalanan.
Saya kira, inilah otokritik terhadap masyarakat agar tidak ceroboh dan gegabah. Pakai masker dan pertahankan jarak sosial. Hormati para sukarelawan yang bekerja keras untuk menyelamatkan hidup Anda.
Jangan sampai perjuangan para dokter dan tenaga medis di garda terdepan bagaikan cinta tak berbalas dari masyarakat.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo dalam konferensi pers yang disiarkan akun YouTube BNPB, Senin (18/5) lalu, mengatakan bahwa pihaknya pun sangat tidak berharap kalangan dokter menjadi kecewa. “Sejak awal kami selalu mengedepankan bahwa ujung tombak kita adalah masyarakat," ujarnya.
Dia mengatakan, seandainya masyarakat yang terpapar lantas sakit dirawat di rumah sakit, apalagi dengan jumlah yang banyak dan tempat perawatannya penuh, maka yang sangat repot adalah tenaga dokter, termasuk perawat.
Sejak awal pun pemerintah sudah membahas perlindungan para tenaga medis, dari perawat hingga dokter, agar tidak kelelahan selama penanganan COVID-19 ini.
Namun jumlah dokter di Indonesia termasuk sedikit dibanding negara-negara lain. Total dokter di negeri ini kurang dari 200 ribu orang. Dokter paru 1.976 orang. Artinya satu orang dokter paru harus melayani sekitar 245 ribu warga negara Indonesia. “Sehingga apabila kita kehilangan dokter maka ini kerugian yang sangat besar buat bangsa kita," jelas dia.
Indonesia terserah. Lalu, apa gerangan jawaban Indonesia. Saya kira, jangan kita biarkan para dokter dan tenaga medis “bertepuk sebelah tangan.” Mari kita balas cinta mereka dengan konsisten melaksanakan protokol kesehatan.