Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketua Majelis Hakim Tipikor Ahmad Sayuti menegur kelima saksi termasuk mantan Wali Kota Tanjungbalai, Thamrin Munthe dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi di PDAM Tirta Kualo, Tanjung Balai yang merugikan negara Rp1,9 Miliar dari total anggaran Rp 11 miliar di APBD 2015 di ruang Cakra 8 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (29/6/2020) petang.
Pasalnya, kelimanya memberikan kesaksian atas ketiga terdakwa yakni Direktur PDAM Tirta Kualo, Zaharuddin, PPK PDAM Tirta Kualo Herianto serta Direktur PT. Andry Karya Cipta, Oktavia Sihombing, yang mana dalam kasus ini tidak dilakukan penahanan.
Dalam persidangan tersebut, hakim mempertanyakan alasan dari Thamrin yang menandatangani persetujuan penyertaan modal untuk PDAM Tirta Kualo pada akhir tahun. Adapun penyertaan itu selain meningkatkan pelayanan dengan Pembangunan Water Treatment Plant (WTP) III dan Pemasangan Pipa Distribusi Utama Sepanjang 600 M di Lokasi WTP Beting Semelur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Kota Tanjung Balai yang berasal dari 2012, 2013 dan 2014.
Menjawab pertanyaan majelis hakim, mantan orang nomor satu di Tanjungbalai itu menyatakan kalau itu sudah persetujuan dewan maupun dari SKPD. Mendengar itu majelis mempertanyakan kenapa harus di penghujung, kan biasanya diawal tahun?, lalu dengan singkat ia menjawab secara teknis mengaku tidak memahaminya.
"Lho kenapa bisa begitu anda kan pimpinan, jadi beginilah akibatnya terjadi pengerjaan yang tidak sesuai pengerjaannya," sindir hakim.
Meski tak banyak informasi didapat dari Thamrin kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan Ketua PPTK Yudil Heri Nasution bersama dua anggotanya Syarifuddin dan Selamat Riadi serta Wakil Direktur CV Gendake, Suprianto.
Dalam keterangan Yudil menerangkan bahwa pihaknya menerima SK pengangkatan dari Direktur Tirta Kualo, Zaharuddin sedangkan PPK Herianto (kedua terdakwa), menyebutkan ada beberapa kali laporan pengerjaan kepada PPK akan tetapi tidak pernah ditindaklanjuti termasuk Direktur PT. Andry Karya Cipta, Oktavia Sihombing (terdakwa) yang tak pernah di lokasi, akan tetapi hanya diwakili Mahdi Aziz Siregar sebagai konsultan pengawas.
Bahkan menurut Yudil bahwa konsultan pengawas yang ditunjuk dalam kasus ini sebenarnya Wakil Direktur CV Gendake Suprianto yang tidak pernah datang. Kesaksian Yudil ini pun diamini oleh dua saksi yang juga sesama anggota PPTK.
Ketidaksesuaian yang dilaporkan dari jumlah pekerja yang tak maksimal hanya dua hingga lima orang saja di lapangan.
"Laporan yang kita sampaikan masalah pemasangan pengukur kekeruhan air yang tak berfungsi dan pagar pompa serta seharusnya memakai kabel travo kelistrikan digantikan genset," ucapnya.
Masih dalam persidangan Wakil Direktur CV Gendake Suprianto bahwa perusahaan mendapat proyek pengerjaan sebesar Rp355 juta. Ia pun mengaku hanya sebulan sekali turun ke lapangan karena pengawasan pengerjaan diserahkan kepada Mahdi. Dan Mahdi sendiripun mendapat honor dari CV Gendake sebesar Rp 60 Juta.
Dari fakta persidangan Suprianto tidak tahu berapa persen jumlah pengerjaan fisik dalam setiap tiga kali termin pembayaran. Bahkan ia mengaku dipaksa menandatangani untuk pembayaran termin ketiga meski pekerjaan belum selesai 100 persen.
Dalam kesaksiannya ia juga dijanjikan memperpanjang pekerjaan dengan imbalan Rp70 Juta kepada dirinya. Namun semua itu bohong dan tidak ada realisasinya kepada dirinya.
Mendengar itu, majelis hakim hanya tertegun dan merasa menganggap wajar bermasalah pekerjaannya kalau seperti ini.
"Pantesan bermasalah, kalau dilihat dari penganggaran hingga pengerjaannya sarat dengan masalah," ketus hakim.
Usai mendengarkan kesaksian kelimanya, majelis menunda persidangan hingga Kamis (2/7/2020) mendatang.