Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KETIKA Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto mengeluarkan statement bahwa orang Indonesia kebal Corona karena doa, spontan keramaian publik meledak. Meski, ada rekomendasi Universitas Harvand yang memprediksi sudah ada orang Indonesia yang terjangkit covid-19, lagi-lagi pak Menteri bersikap denial.
Klimaksnya adalah ketika ada dua orang positif Corona di daerah Depok yang diumumkan resmi oleh presiden. Spontan ucapan publik figur tadi menjadi bulan-bulanan publik di media sosial. Masyarakat meluapkan ucapan satir penuh emosional. Media massa tak mau ketinggalan, ramai mewartakan. Para dosen, politikus, dan wartawan berlomba-lomba menulis opini keblunderan pak Menteri tadi.
Adanya pasien positif Corona memantik manusia-manusia bejat untuk menimbun masker dan hand sanitizer. Dua benda yang diduga sebagai preventif Covid-19 tiba-tiba hilang dari radar kehidupan manusia. Jiwa serakah yang hanya mementingkan keuntungan duniawi dengan bangganya menyaksikan sesama saudara tak dapat menggunakan masker dan hand sanitizer.
Harga pun melangit. Jika kondisi normal satu masker Sensi kisaran ribuan, di awal pandemi ini harga sebiji masker bisa puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Namun, insiden masker akhirnya usai seiring mebludaknya masker kain di pasaran setelah ada imbauan cukup efektif untuk memutus penularan virus. Wajar masker kain laris manis, harganya lebih murah dari pada harga Kinderjoy. Lantas, bagaimana nasib penimbun masker dan hand sanitizer dengan jutaan modal? Sukurin, gulung tikar, rugi besar.
Dunia pendidikan juga tak kalah ramai. Penerapan pembelajaran daring menjadi polemik. Orang tua melayangkan protes kepada KPAI terkait anaknya yang stres selama pembelajaran daring. Hal itu dikarenakan guru hanya memberi tugas bejibun tanpa melalui proses pembelajaran. Akhirnya pembelajaran daring memunculkan pro dan kontra. Implementasi di lapangan pun kurang efektif karena berbagai kendala, semisal, kualitas guru yang gagap teknologi, ketersediaan kuota, minimnya gadget di daerah pelosok, hingga kelalaian orang tua.
Insiden yang cukup mengiris hati adalah penolakan warga terhadap pasien yang meninggal karena Corona. Di beberapa tempat janazah Covid-19 tidak diperbolehkan oleh warga untuk dimakamkan di daerahnya. Kasus seorang perawat yang meninggal karena Covid-19 di daerah Semarang Jawa Tengah, justru harus dipindah lantaran warga menolak untuk dikebumikan. Padahal perawat tersebut telah berjuang di garda terdepan untuk membantu para pasien.
Kasus yang tak kalah heboh adanya opini bahwa pandemi ini hanya konspirasi kaum elite global dengan dalih untuk meraup keuntungan. Suara lantang konspirasi muncul lewat salah satu personel band Superman is Dad (SID), Jerinx. Bahkan, untuk mempertahankan asumsinya dia berani disuntik virus Corona. Opini itu menadapat reaksi dari salah satu dokter, aktivitas, dan pengusaha yang lagi naik daun, dr Tirta. Keduanya mengadakan diskusi terbuka tentang teori konspirasi x Realita Rumah Sakit pada Rabu, 29 April 2020. Namun sayangnya acara tidak bisa dilanjutkan karena jaringan yang buruk.
Di kalangan pemerintah, muncul kebijakan dengan istilah-istilah tabu di kalangan kaum awam, yang pada akhirnya terdengar biasa di seluruh kalangan umat, mulai dari kaum rebahan hingga pejuang lapangan. Lockdown tiba-tiba menjadi frase yang tren diperbincangkan. Meski penerapan lockdown hanya bertaraf lokal (bukan nasional), gaungnya cukup keras menggema ke seluruh pelosok nusantara. Kota perdana yang menerapkan lockdown wilayah adalah Tegal. Wali kota Tegal Dedy Yon Supriono mengambil langkah berani meski bertentangan dengan kebijakan nasional. Segala akses masuk kota Tegal ditutup. Segala bentuk kegiatan di luar rumah dihentikan.
Ternyata penerapan lokal lockdown yang hanya diberlakukan di beberapa kota sudah tentu tidak melandaikan angka positif Covid-19 secara nasional. Akhirnya, ada kebijakan lain dengan istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Kebijakan ini lebih ringan dari pada lockdown. Intinya, membatasi kerumunan dalam skala besar dengan menghentikan atau mengurangi kapasitas, seperti perusahaan, lembaga pendidikan, atau yangg lain. Penerapan PSBB dimulai dari DKI Jakarta pada 10 April 2020. PSBB diikuti oleh Provisi Sumatra Barat dan beberapa kota, seperti Bogor, Bekasi, Bandung, dan lain-lain. Terhitung ada 2 provinsi dan 15 kabupaten/kota yang menerapkan PSBB.
Namun tetap saja, grafik angka Covid-19 tidak mengalami penurunan, justru semakin meningkat. Akhirnya pemerintah lewat pernyataan presiden agar "berdamai" dengan virus Corona. Pernyataan ini atas dasar fatwa WHO yang menduga Corona tidak akan berakhir. Ucapan presiden itu memantik reaksi beragam. Bentuk penolakan muncul dari PP Muhammadiyah, yang menganggap "berdamai" dengan corona sangat tidak relevan lantaran grafik virus Corona di tanah air terus merangsak naik. Bentuk ketidaksetujuan lain datang dari mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Dia berpendapat bahwa "berdamai" akan terlaksana jika kedua pihak memiliki kemauan saling menyudahi. Dan virus Covid-19 tidak bisa diajak berdamai.
Tak lama setelah itu, pemerintah lagi-lagi mengeluarkan istilah anyar yaitu new normal (pola hidup baru). Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menjelaskan, new normal adalah perubahan perilaku di mana warga tetap bisa menjalankan aktivitasnya namun dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19. Menanggapi ini Publik memunculkan pro dan kontra di media sosial.
Pihak pro menegaskan bahwa tujuan new normal untuk menghidupkan kembali dunia ekonomi yang sempat anjlok. Stabilitas ekonomi negara dan masyarakat bisa hidup kembali. Penjual kaki lima bisa mencari nafkah, tukang cukur rambut bisa beraktivitas, dan para ojol (ojek online) berjumpa lagi dengan para pelanggan.
Namun, pihak yang kontradiktif berkata lain. New normal hanya akal-akal kaum elite untuk membangkitkan lagi ekonomi mereka dan tidak memihak ke rakyat jelata. Jika new normal diterapkan bisnis makro akan bangkit kembali. Apa pun istilahnya, dari lockdown, PSBB, dan new normal esensinya mengerucut pada social distancing (jaga jarak sosial) dan physical distancing (jaga jarak fisik)
Tentu masih banyak drama, keramaian, dan kehebohan di masa pandemi ini yang tidak bisa disajikan secara menyeluruh, seperti polemik frase "mudik" dan "pulang kampung" ala presiden, konser musik virtual, ungkapan "terserah" oleh pejuang medis, hingga kerumunan di Bandara Soekarno-Hatta dan McDonald's Sarinah, dan lain sebagainya.
Keberlimpahan peristiwa dan kegaduhan ini jelas mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Opini media menggiring pola pikir masyarakat ke kanan dan kiri, tanpa titik solusi. Kaum awam hanya bisa menyaksikan alur tragedi di negeri ini, sembari menunggu apalagi yang akan terjadi hingga akhir pandemi.
===
Penulis Pendidik di SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]