Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Taput. Kondisi geografis suatu desa/kelurahan yang cukup luas di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), dengan tempat tinggal masyarakat yang terkonsentrasi pada beberapa titik, mau tidak mau akan membuat pola distribusi gas elpiji 3 kilogram subsisdi, akan diakses masyarakat pada beberapa tempat dengan harga yang variatif.
Dari penelusuran dan ungkapan sejumlah warga yang ditanya di sejumlah kantong-kamtong pemukiman, menyebutkan, tidak mungkin seluruh masyarakat pemakai tabung ini akan membeli langsung ke pangkalan resmi terdekat dengan berbagai macam pertimbangan, salah satunya biaya transportasi. Umumnya warga mengaku, mengakses saja di warung-warung terdekat yang tersebar di desa/kelurahan.
Terkait kondisi di atas, salah satu warga Tapanuli Utara David.PPH Hutabarat yang diwawancarai Medanbisnisdaily.com,siang ini, Sabtu (11/7/2020), mengatakan, langkah terobosan yang bisa dilakukan adalah Desa/Bumdes bisa berperanan sebagai induk pengecer di wilayahnya, dalam rangka mengantisipasi kelangkaan gas dan tingginya disparitas harga.
"Kita dapat memahami langkah bapak Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan yang menginstruksikan segera mengawal proses pendistribusian dan menjaga seluruh pangkalan, dan memang setelah itu dilakukan, gas tidak lagi langka dan HET dapat diperoleh masyarakat seharga 18.000 ribu rupiah," katanya.
Pernyataan bupati, kata David, yang akan mengambil alih pendistribusian gas elpiji dengan memberdayakan Bumdes, jika agen, pangkalan dan jejaring distribusi yang terbentuk di bawah tidak becus dan menimbulkan kelangkaan gas dan tingginya harga diatas HET, sangat masuk akal dan memang dapat dilakukan tanpa melanggar aturan.
Mantan Anggota DPRD Taput ini mengutarakan, memang tidak mungkin setiap desa/kelurahan di Taput memiliki pangkalan resmi penjualan gas LPG 3 kilogram subsidi. Faktanya adalah satu pangkalan melayani beberapa desa/kelurahan yang secara teknis diatur oleh Pertamina.
"Namun, pihak Pemkab setempat juga bisa memberikan masukan ke Pertamina, agar kualitas distribusi bisa lebih maksimal. Sesungguhnya, Agen distributor menunjuk pangkalannya masing-masing, tetapi pada kondisi saat ini sudah banyak masyarakat perorangan yg menjadi pangkalan," urainya.
Menurut David, mengeliminasi pangkalan yang menjalankan usahanya dengan benar dan taat aturan sangat tidak tepat, terkecuali pangkalan tersebut memang bandel, itu sangat tepat untuk ditutup.
"Nah, setelah pangkalan ditutup, sangat memungkinkan Pemkab dengan memberdayakan Bumdes mengambil peranan sebagai pangkalan," tandas David.
Tetapi saat ini kata David, hal yang memungkinkan dilakukan adalah Desa/Bumdes bermitra dengan pangkalan, dan dapat mengakses dengan harga HET.
"Sangat perlu diatur regulasi oleh Pemkab yang berkoordinasi dengan Pertamina dan agen distributor. Dengan demikian, sangat memungkinkan Desa/Bumdes mengambil/membeli gas tersebut dari pangkalan dengan jumlah yang banyak dalam kaitannya dgn cost pengangkutan sehingga tidak terkendala/bertentangan dengan aturan hukum yg berlaku," tandas pria jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
David berkeyakinan, bahwa dengan konsep transparansi, akuntable dan auditable regulasi tersebut bisa dibuat, apalagi dengan semangat-semangatnya Presiden RI Jokowi menggusung konsep kerja cerdasnya.
"Trus, begitu juga dengan pangkalan yang bermitra dengan desa/Bumdes tersebut perlu berkoordinasi dengan pemkab Taput dan agen penyalurnya, untuk menghitung alokasi kebutuhan pangkalan tersebut, agar kemitraan antara pangkalan dengan desa/Bumdes tersebut tidak membuat stok gas epiji 3 KG menjadi langka di pangkalan tersebut, sehingga masyarakat yang langsung membeli ke pangkalan tersebut tetap bisa diakomodir," ungkapnya.