Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Wacana pembubaran 18 lembaga nonstruktural oleh pemerintah membuka kembali ruang diskusi keberadaannya dalam format ketatanegaraan kita. Rencana ini disampaikan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara kepada awak media pada hari Senin (13/7) lalu. Sebelumnya, Presiden telah menyampaikan hal ini kepada jajarannya ketika mengawali sidang paripurna kabinet pada tanggal 18 Juni 2020.
Meski belum merinci daftar lembaga yang akan dihapus, namun keterangan dari Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, sudah menyebutkan dua lembaga, di antaranya adalah Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) dan Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK). Bahkan menurutnya, lembaga bentukan Presiden Jokowi pada periode pertama menjabat, yakni Badan Restorasi Gambut (BRG), akan dihapuskan juga.
Kelanjutan
Rencana penghapusan belasan lembaga kali ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari serangkaian tindakan pembubaran yang telah dilakukan terhadap 23 lembaga dalam rentang waktu lima tahun terakhir. Berawal dari tanggal 5 Desember 2014, pemerintah membubarkan sebanyak 10 lembaga, yakni Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional, Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional, Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan, Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, dan Dewan Gula Indonesia. Pembubaran kesepuluh lembaga ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2014.
Selanjutnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015, tertanggal 21 Januari 2015, Dewan Nasional Perubahan Iklim serta Badan Pengelolaan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi hutan, dan Lahan Gambut (Badan Pengelola REDD+) dilebur ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2016, pembubaran masif kembali dilakukan terhadap 9 lembaga nonstruktural. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2016, Badan Benih Nasional, Badan Pengendalian Bimbingan Massal, Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan, Komite Pengarah Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, Dewan Kelautan Indonesia, Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, dan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis, dinyatakan bubar oleh pemerintah.
Esoknya, tanggal 31 Desember 2016, fungsi dan tugas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional beralih kepada kementerian yang menangani urusan kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2016. Terakhir, keberadaan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo diakhiri dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2017, tanggal 2 Maret 2017.
Konsisten
Serangkaian tindakan penghapusan lembaga-lembaga ini boleh jadi menandakan bahwa perampingan lembaga nonstruktural masih menjadi agenda yang belum usai dan akan terus dilakukan. Namun, membaca langkah pemerintah untuk menata kelembagaan berarti menagih konsistensinya pula.
Dari keterangan pers yang disampaikan pihak istana, setidaknya ada dua indikator yang digunakan oleh pemerintah untuk membubarkan lembaga nonstruktural. Indikator dimaksud adalah dasar hukum pembentukan serta peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Dengan indikator dasar hukum pembentukan, pemerintah berkeinginan menghapus lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau Keputusan Presiden (Keppres). Komnas Lansia, misalnya, salah satu yang disebut akan dibubarkan, justru dibentuk berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Keberadaannya diamanatkan dalam Pasal 25 dan masih berlaku hingga saat ini.
Sementara itu, jika memakai indikator efektivitas dan efisensi, keberadaan Kantor Staf Presiden (KSP), yang dibentuk melalui Perpres Nomor 83 Tahun 2019, justru kontraproduktif dengan gagasan pemerintah saat ini. Sebab, jika KSP memegang fungsi pengendalian program prioritas nasional, maka tampaknya hal ini bersinggungan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Terlebih lagi jika fokus Presiden Jokowi selama ini adalah pembangunan infrastruktur, maka kehadiran KSP akan semakin goyah dengan adanya Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).
Kehadiran KSP juga semakin absurd ketika berhadapan dengan organ-organ lain yang sudah lebih dulu ada di lingkaran internal kepresidenan seperti Dewan Pertimbangan Presiden, Kementerian Sekretariat Negara, dan Sekretariat Kabinet. Di dalam struktur organisasi Kementerian Sekretariat Negara itu sendiri masih terdapat lagi unsur Sekretariat Presiden dan Sekretariat Militer Presiden.
Bahkan untuk hal-hal di luar tugas dan fungsi kementerian dan instansi pemerintah lainnya, Presiden pun dapat menunjuk staf khusus dan utusan khusus. Agar tak mengomentari lebih jauh kisruh kehadiran staf khusus milenial beberapa waktu lalu, cukuplah diinformasikan di sini bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2018, staf khusus Presiden ditentukan paling banyak berjumlah 15 orang yang masing-masing staf khusus dibantu oleh beberapa asisten.
Penjelasan agak panjang soal ini hendak menunjukkan betapa banyak unsur pembantu di lingkaran terdekat sang presiden. Terlebih lagi jika hendak mempersoalkan dasar pembentukannya, maka KSP menjadi contoh bahwa indikator efektivitas dan efisiensi tidak konsisten dijalankan.
Oleh karena itu, agar penataan lembaga nonstruktural lebih terarah, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara komprehensif, menetapkan kriteria/indikator yang terukur, dan komitmen politik untuk menjalankannya. Publik dapat juga dilibatkan untuk memberi pandangan atas urgensi dan kemanfaatan suatu lembaga. Sehingga, pembentukan, penggabungan ataupun penghapusan sebuah lembaga akan mendapatkan legitimasi rakyat.
====
Penulis alumni FH USU, bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]