Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jumat pekan lalu, masyarakat dunia dikejutkan oleh kabar gembira yang tak terduga, yakni pengalihfungsian Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Bagi umat islam, tentu pengubahan status menjadi sebuah kemenangan, lantaran bangunan tersebut dikembalikan fungsinya sebagai tempat beribadah. Dan untuk mayoritas warga Turki, langkah itu adalah bentuk melindungi warisan Muhammad Al-Fatih.
Kendati demikian, tidak semua pihak menyambut baik langkah yang dilakukan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Sebab berdasarkan hasil Areda Survey yang diterbitkan pada 11 juni lalu, terdapat 22,4% dari sampel 2.414 penduduk Turki yang menjawab tidak setuju dengan pengubahan status Hagia Sophia. Selain itu, Amerika Serikat, Rusia, dan Yunani menentang keras perubahan Situs Warisan Dunia UNESCO itu. Pihak UNESCO pun turut kecewa atas hal ini.
Alasan berbagai pihak menentang pengubahan status Hagia Sophia, setidaknya ada tiga: (1) langkah politik terakhir Erdogan agar tidak kehilangan dukungan publik (sebab popularitasnya terus merosot sejak tahun 2018), (2) melanggar kerukunan antar umat beragama, dan (3) memperkuat kontrol Erdogan terhadap negara. Lantas, apakah benar tujuan Erdogan mengupayakan Hagia Sophia sebagai masjid, adalah alasan politis seperti itu?
Citra Diri
Sebelumnya, Erdogan berasal dari partai AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), organisasi politik yang sangat berambisi menjadi kekuatan dunia dan mengontrol Timur Tengah. Salah satu buktinya dapat kita lihat dari perjanjian maritim Turki dengan pemerintah resmi Libya. Dimana dalam konstelasi geopolitik, penguasaan suatu negara atas laut, mampu memperkuat citra presiden negara (Erdogan) dan negara itu sendiri (Turki) sebagai kekuatan dunia. Hal ini semata-mata diupayakan Erdogan untuk menampilkan dirinya sebagai pemimpin Islam tingkat global.
Dengan demikian, fokus utama dari kebijakan luar negeri tersebut akan mempengaruhi cara pengelolaan dalam negeri Turki. Yang mana dalam hal ini – Erdogan – sebagaimana yang diberitakan, menjadi otoriter untuk mempertahankan citranya. Berdasarkan beberapa catatan media massa, ribuan pengacara, jaksa, jurnalis, dkk banyak yang dibui. Tudingan yang disematkan oleh pemerintah kepada mereka, tak lain seputar tuduhan berafiliasi dengan komunitas Gulen (yang kemungkinan berafiliasi dengan AS).
Alhasil, cukup banyak orang-orang di dalam Turki yang kurang suka dengan kepemimpinan Erdogan yang serba otoriter. Kendati berita-berita ini belum terbukti benar, mengingat media massa sarat akan framing. Sebab setelah penulis amati, media asing dari beberapa negara tertentu cenderung menyudutkan Erdogan --- dengan mayoritas tuduhannya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) --- lantaran berbeda koalisi dengan Turki.
Hubungannya dengan Hagia Sophia
Di sisi lain, saat ini Erdogan dan partai AKP tengah menghadapi ancaman besar, yakni popularitas yang kian merosot. Dimulai dari tahun 2018 dikarenakan membengkaknya utang, tahun 2019 kalah pemilihan umum wali kota dengan partai oposisi, dan tahun ini dengan kewalahan Turki mengatasi pandemi.
Lantas, apa kaitannya dengan Hagia Sophia? Hagia Sophia sendiri merupakan bangunan yang terletak di Istanbul. Beberapa akademisi dan pakar memandang langkah Erdogan dalam mengalihfungsikan Hagia Sophia menjadi masjid sarat politis. Singkat ceritanya, Erdogan diasumsikan bergerak untuk menggalang suara dan memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin Islam dunia.
Dengan peristiwa Hagia Sophia, diharapkan pemilihan umum berikutnya AKP bakal menang lagi. Sebab AKP sangat berambisi dalam mewujudkan prioritas kebijakan luar negerinya. Yaitu menjadi kekuatan dunia dan mengontrol Timur Tengah (untuk membantu Palestina).
Kendati demikian, pengalihfungsian Hagia Sophia menjadi masjid mendapat kecaman dari Yunani, Amerika, dan Rusia. Kemungkinan besar, Erdogan tidak mau terlalu menggantungkan diri dengan sekutu Barat, terutama secara ekonomi. Erdogan mencoba menggaet simpati dari seluruh umat manusia yang mayoritas adalah pemeluk Islam.
Sekitar bulan Mei, Turki diberitakan memberi banyak bantuan peralatan medis ke 30 negara di Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Balkan. Konsekuensinya, walaupun Turki --- lantaran Hagia Sophia --- kehilangan kepercayaan dari sekutu Barat, dirinya tetap memiliki sekutu lain yang mau membantu dirinya.
Hal ini dikarenakan Turki memiliki rekam jejak yang sedikit kelam ketika dipimpin oleh orang-orang sekuler, Kemal Attaturk, misalnya. Pada era kepemimpinan beliau, ekonomi Turki sangat bergantung dengan sekutu barat. Hal inilah yang kemungkinan besar membuat Erdogan menghindari ketergantungan rutang dengan barat, apalagi meminjam uang dari IMF. Oleh sebab itu, Erdogan dan AKP sangat memerlukan pengamanan popularitas politik hingga pemilu tahun 2023.
Apresiasi
Di sisi lain kita patut mengapresiasi langkah tegas Erdogan untuk mengalihfungsikan Hagia Sophia dari museum ke masjid. Sebab, beliau berani menjalankan demokrasi Turki, yang seharusnya tidak diganggu oleh orang-orang luar. Tindakan yang tepat menurut penulis, terlepas bagaimana sikap dan arah politik Erdogan dan AKP.
===
Penulis Mahasiswa Teknik Fisika UGM
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]