Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
RUU Cipta Kerja menjadi salah satu dari 50 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam daftar program legislasi nasional DPR RI 5 tahun ke depan, setelah pemerintah resmi mengajukan draf RUU Cipta Kerja pada 29 Januari 2020. Namun, ada beberapa RUU yang ditarik, dan masih ribut juga.
Permasalahan tentang RUU Cipta Kerja telah muncul sejak pidato Presiden Joko Widodo pada Sidang Paripurna MPR tahun lalu, dan masih terus berlanjut. Pro dan kontra di kalangan masyarakat dari berbagai macam lapisan terus terjadi, khususnya antara pemerintah, pelaku usaha dan buruh.
Pemerintah, sesuai dengan fokus utama presiden mengharapkan bahwa perekonomian Indonesia semakin berkualitas, mudah, efektif dan efisien dengan penyederhanaan regulasi melalui RUU Cipta Kerja ini. Fakta ini tidak bisa disanggah, begitu juga keinginan pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian di Indonesia.
Tumpang tindih regulasi baik di tingkat pusat dan daerah membuat iklim dunia usaha sulit untuk dikembangkan dan ramah bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah. Dari 83 undang-undang dengan lebih dari 2.500 pasal akan disederhanakan menjadi sekitar 174 pasal melalui RUU Cipta Kerja ini. Pertanyaannya, apakah penyusunan RUU Cipta Kerja ini sudah melibatkan semua pelaku kepentingan?
Merujuk pemerintah, terdapat 11 klaster dalam RUU Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M. Selanjutnya, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi
Pertama-tama, perlu disampaikan tentang masalah perizinan yang bagi pelaku usaha sangat merugikan dari segi waktu dan keuangan usaha. Memang sudah seharusnya untuk dirampingkan dengan catatan tidak mengganggu kepentingan yang lebih vital seperti izin lingkungan misalnya. Namun berbeda dengan ketenegakerjaan, jika terjadi perampingan dan tidak terjadi keseimbangan. Dampaknya jelas, timbul masalah pada hubungan industrial yaitu pemerintah, pelaku usaha dan buruh sebagai subyek utama yang saling terkait.
Kewajiban pemerintah sebagai regulator dalam hubungan industrial menentukan pola hubungan antara pelaku usaha dan buruh. Titik keseimbangan yang harus dicapai adalah bahwa di para pihak ini tidak akan terjadi pertentangan hak dan kepentingan satu dengan yang lain. Ini dapat menjelaskan mengapa klaster ketenagakerjaan dalam draf RUU Cipta Kerja banyak menimbulkan persoalan.
Terkait konteks hubungan industrial, diserapnya seluruh aturan dalam UU Ketenegakerjaan jelas bukanlah menjadi solusi. UU Ketenagakerjaan sejak awal dibuat untuk memberikan kepastian dan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan buruh. Itulah mengapa, selain mencakup banyak bidang, UU Ketenagakerjaan termasuk UU yang memiliki banyak aturan-aturan turunan teknis.
Hal itu bisa dimengerti, sebab hubungan industrial antara pelaku usaha dan buruh memang kompleks dan memerlukan detil pengaturan yang tidak sederhana. Masuknya substansi pengaturan UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dengan hanya beberapa pasal pengaturan, jelas akan berdampak buruk pada detil pengaturan itu.
Bahwa dalam hubungan industrial, pelaku usaha dan buruh selalu berada dalam tarik-menarik kepentingan yang berbeda. Sudah tentu, dari sisi finansial usaha, pelaku usaha tidak fokus pada pengaturan upah. Bahkan seringkali upah disiasati seminim mungkin untuk meningkatkan hasil produksi. Tak hanya upah, begitu juga mengenai pesangon jika terjadi PHK. Banyak persoalan mengenai pesangon yang tak kunjung diberikan.
Buruh berada pada sisi berlainan, yang mempertimbangkan upah sebagai hal paling utama karena berkaitan dengan melanjutkan roda kehidupan. Mengingat kedua pelaku kepentingan ini sama pentingnya, pemerintah harus memperlakukan keduanya seimbang dengan adil agar terciptanya keharmonisan dalam hubungan industrial tersebut.
Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, baik oleh pemerintah dan DPR terkait pembahasan RUU Cipta Kerja ini ke depan. Pertama, pemerintah dan DPR tetap dalam melakukan penyederhanaan regulasi tanpa mempertajam ketidakseimbangan hak antara pelaku usaha dan buruh. Caranya, pemerintah dan DPR tetap konsisten memberlakukan regulasi yang telah menjamin kebutuhan buruh, sebagaimana telah diupayakan untuk diatur dalam UU Ketenahakerjaan dan semua aturan turunannya.
Terkait poin pertama, kedua, UU Ketenagakerjaan lebih baik sebagai regulasi mandiri di luar RUU Cipta Kerja. Titik kesimbangan yang sudah dijamin dalam UU Ketenagakerjaan dengan sifat detil pengaturannya sudah terbukti dapat menjaga harmonisasi hubungan antara pelaku usaha dan buruh, meskipun butuh beberapa pembaharuan seperti perlindungan pekerja ekonomi kreatif dan outsorcing. Artinya, klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dikeluarkan dari draf pembahasan dan UU Ketenagakerjaan diperbaharui secara mandiri.
===
Penulis mahasiswa Pascasarjana FH UGM
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]