Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bulan Kemerdekaan sekaligus peringatan 75 tahun kehadiran Indonesia sebagai negara bangsa di panggung dunia, sebagai bangsa yang lepas dari cengkraman penjajahan/kolonialisme yang cukup panjang, mungkin akan dipenuhi oleh tetesan air mata sebagai eksperesi kesedihan berbalut kecewa tak terkatakan, akibat persoalan korupsi yang memutus jembatan emas yang dibangun para pendahulu bangsa.
Para pendahulu bangsa memperjuangkan kemerdekaan dengan cita-cita yang sangat besar dan tinggi, terlihat dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan kemerdekaan adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun yang terjadi setelah 75 tahun adalah semakin meluasnya praktik korupsi dan ketimpangan ekonomi yang sangat tinggi.
Korupsi seperti sudah menjadi membudaya dalam setiap aspek kehidupan, seolah merupakan darah yang mengalir di tubuh sebagian manusia Indonesia, terutama mereka yang berada di jajaran pemerintahan. Bahkan melihat masifnya korupsi, hampir dapat dipastikan kita akan kehabisan kata-kata menjelaskan bagaimana perilaku koruptif mengeroposkan dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Penjajahan Budaya Koruptif
Meluasnya praktik korupsi yang terjadi hampir dalam sepanjang sejarah indonesia merdeka secara nyata telah memotong makna tujuan kemerdekaan, karena kemerdekaan seperti dipergunakan untuk memenuhi nafsu serakah, memperkaya diri, keluarga dan kelompok yang duduk di birokrasi dan lembaga negara.
BACA JUGA: Menemukan Hakikat Demokrasi dalam Pilkada
Menjadi sesuatu yang sangat miris terutama jika melihat perkembangan tujuan kemerdekaan yang justru menjadikan ruang kekuasaan dan pemerintahan, yang diperoleh dari amanat kedaulatan rakyat lewat PEMILU dan PILKADA berubah menjadi instrumen untuk menjajah bangsa sendiri, lewat praktek mengeruk keuntungan sebesar–besarnya untuk pribadi, keluarga dan kelompok.
Walaupun optimisme pemberantasan korupsi sering dikampanyekan, termasuk dengan berbagai penindakan oleh lembaga penegak hukum, namun sayangnya tidak terlihat komitmen kuat untuk memerdekakan institusi penegak hukum terlebih dahulu dari praktik korupsi.
Jalan menuju merdeka dari korupsi semakin berat karena langkah pencegahan (preventif) sepertinya tidak dilakukan dengan serius, karena kesan yang muncul tidak lebih dari pencitraan dengan berbagai spanduk, slogan dan himbauan dan penetapan zona integritas dibanyak lembaga negara, tapi pada kenyataannya tetap terjadi banyak praktek korupsi.
Salah satu nilai terpenting dalam semangat kemerdekaan adalah perang melawan korupsi sebagai kejahatan kolektif yang merupakan watak kolonialisme, karena dalam pandangan sistem kolonialisme negara jajahan adalah sapi perah yang harus di eksploitasi secara optimal agar menghasilkan komoditas yang menguntungkan bagi penguasa atau pemilik modal.
Sehingga sistem birokrasi kolonial sangat tidak memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat jajahan. Sistem yang mengakar kuat hingga mempengaruhi cara pandang pejabat birokrasi, terutama dengan praktek pengumpulan kekayaan secara berlebihan untuk meningkatkan status sosial pada masa itu.
Begitu juga dengan mekanisme kenaikan pangkat yang tidak berdasarkan merit system atau ukuran tingkat pendidikan, keahlian dan prestasi kerja, tetapi lebih didominasi praktek nepotisme dan kolusi, dimana pejabat pribumi di era kolonial sangat lazim menjilat para atasan Belanda, begitu juga pejabat pribumi kelas rendah menjilat pejabat pribumi yang lebih tinggi.
Disinilah berlaku budaya pola patron-klien yang rumit dan lingkaran jilat-menjilat yang hampir mewarnai semua jajaran birokrasi kolonial. Hingga terbentuknya elit birokrasi yang berputar di sekeliling jaringan hubungan yang saling mengait dan membangun pola patronase dan faktor like and dislike yang sangat dominan dalam mengangkat seorang pejabat.
Situasi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi birokrasi dan kekuasaan yang sudah merdeka tigaperempat abad lamanya, masyarakat harus mengalami dan menyaksikan haknya teram¬pas, karena anggaran negara yang seharusnya dipakai un¬tuk membangun dan men¬sejah¬terakan rakyat justru dipakai untuk me¬mperkaya segelintir orang dan kelompok.
Kegagalan perubahan mental dan perilaku koruptif yang membudaya secara sistemik, terlembagakan dan masif sejak masa kekuasaan VOC, hingga kemerdekaan yang memberikan ruang bagi bangsa sendiri untuk mengisi kekosongan pemerintahan, namun sayangnya tetap menjaga budaya dan watak kolonial dalam birokrasi dan kekuasaan.
Warisan kolonial yang terlihat jelas dari tetap suburnya praktek pungutan liar, mark up anggaran dan suap sebagai usaha menjaga keseimbangan pen¬dapatan dan pengeluaran, karena beban setoran kepada atasan atau jaringan kekuasan, yang akhirnya melahirkan praktek penyalahgunaan we¬wenang.
Dengan segala budaya dan perilaku warisan kolonial yang bersemayam, mungkin refleksi terbaik adalah merenungi bahwa isi pikiran dan pola hidup dominan bangsa indonesia masih mengalami penjajahan, sehingga menyebabkan korupsi di Indonesia akan terus memburuk.
75 tahun Kemerdekaan seolah mengalami kebuntuan dengan model pembangunan ekonomi yang tetap timpang, di mana hanya sebagian orang yang menikmati kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, dan ke¬timpangan ini merupakan dampak dari korupsi yang di¬jalankan birokrasi dan kader partai politik.
Walaupun proses penindakaan koruptor tetap berjalan, tapi secara kualitas pe¬nekanan angka korupsi, justru seperti semakin memburuk. Secara sederhana dapat terlihat dari rendahnya tingkat kepatuhan pejabat dan lembaga negara dalam menyampaikan laporan keuangan dan membuka pertanggungjawaban anggaran kepada publik secara terbuka, yang menyebabkan sangat lemahnya proses pe¬ngontrolan dan pengawasan.
Merdeka dari Korupsi
Sudah waktunya negara bertindak cepat dengan menerapkan langkah preventif dengan pendidikan ke¬sa¬daran anti korupsi, terutama ke dalam dunia pendidikan sejak usia dini dan setiap keluarga, sebagai pondasi utama pembangunan karakter generasi penerus bangsa untuk lepas dari penjajahan pemikiran yang koruptif.
Kemudian memastikan seluruh lembaga penegak hukum melakukan pembersihan besar-besaran ditubuhnya, terutama melepaskan kepentingan politik dan praktek transaksi dalam promosi pangkat serta jabatan, agar dapat menjadi role model dan garda terdepan yang menjadi panutan sekaligus memperoleh kepercayaaan yang tinggi dari masyarakat, sebagai sapu yang membersihkan kotoran.
Dan yang tidak kalah penting adalah memutus mata rantai korupsi partai politik, terutama demokrasi berbiaya tinggi, karena untuk menghadirkan pemerintahan bersih dalam kontestasi elektoral, dengan menekan biaya para calon sekecil mungkin.
Sudah bukan rahasia bahwa dari sekian proses tahapan PEMILU dan PILKADA untuk memenangi kontestasi elektoral saat ini sangatlah membutuhkan biaya tinggi, dari pembiayaan alat peraga, tiket pencalonan dari parpol minimal 20% dari jumlah kursi parpol di daerah bersangkutan, biaya kampanye, pendanaan saksi, hingga pengawalan sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Masa depan Indonesia harus diselamatkan dari korupsi se¬hingga tidak menjadi krisis yang membahayakan, karena korupsi adalah biang masalah yang menyebabkan politik berbiaya tinggi, degradasi moral, degradasi demokrasi dan jatuhnya daya saing bangsa.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]