Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Labura.Ali Tambunan (AT) dan Raja Panusunan Rambe SE (RPR) telah mengantongi dukungan dari DPP Partai Golkar untuk maju pilkada Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) pada Desember 2020 mendatang. AT, politisi senior ini dinilai paling berpengalaman di dunia politik. Selain Ketua DPRD Labura selama 2 periode, AT juga memimpin Partai Golkar Labura untuk periode ketiga yang dipilih secara aklamasi oleh peserta Musyawarah Daerah III Golkar Labura yang digelar di aula Hotel Permata Warna Aekkanopan, Sabtu (29/8/2020).
"Dengan modal 7 kursi legislatif Golkar di Labura, AT gak perlu pusing mencari partai pengusung tambahan. Karena syarat minimal paslon dari jalur partai adl 7 kursi. AT dikenal sebagai politisi senior Labura. Pengalaman AT sebagai ketua DPRD Labura 2 periode berturut-turut sudah cukup menjadi modal politiknya untuk maju sbg Cabup Labura," kata pengamat politik Labura, Anggra Prasetya Ritonga, Rabu (2/9/2020).
Begitu juga RPR, lanjut Anggra, pernah menjadi anggota DPRD Labura 2014-2019 (kemudian tidak lagi mencalonkan diri di periode 2019-2024) sudah cukup sebagai modal dasar seorang RPR memetakan kondisi politik Labura khusunya wilayah 'Aek'. Paslon AT-RPR yang memiliki jargon "KUAT" adalah satu-satunya paslon yang merepresentasikan 'Kualuh-Aek'. AT dari Kualuh Hulu, RPR dari Na IX-X.
"Kualuh yang dimaksud yakni Kecamatan Kualuh Hilir, Kualuh Selatan, Kualuh Hulu dan Kualuh Leidong. Sedangkan Aek meliputi Kecamatan Aek Natas, Aek Kuo, Marbau, dan Na IX-X. Labura terdiri atas 8 kecamatan," jelas mantan Direktur Ikama Leadership Institute (ILI) yang merupakan sekolah kepemimpinan yang berada di bawah naungan organisasi induk IKAMA (Ikatan Alumni SMA Matauli).
Menurutnya, jika keduanya mampu bersinergi dan memaksimalkan peran di wilayah masing-masing, tidak mustahil paslon ini punya potensi KUAT untuk menang. AT fokus dengan kelompok dewasa dan RPR yang usianya di bawah 30 tahun fokus merangkul kelompok muda atau milenial.
"Sebuah kolaborasi yang cantik. Tinggal bagaimana tim KUAT mampu memetakan potensi basis massa mereka, memoles citra sang paslon dan mengejar ketertinggalan mereka dari paslon lain yg lebih dahulu bermanuver dan membangun jaringan dan basis massa jauh-jauh hari sebelumnya," katanya.
Lebih jauh, Anggra menjelaskan tentang Kualuh-Aek dari sisi geopolitik Labura. Kecamatan Kualuh Hilir, Kualuh Selatan, Kualuh Hulu dan Kualuh Leidong disebut Kualuh merujuk kepada sungai besar yang mengalir di 4 kecamatan ini yakni sungai Kualuh.
Sedangkan wilayah politik kedua yakni gabungan antara Kecamatan Aek Natas, Aek Kuo, Na IX-X (Aek Kotabatu) dan Marbau (Aek Marbau) disebut sebagai wilayah Aek merujuk kepada 2 sungai besar yang mengalir di 4 kecamatan ini yakni Aek Natas dan Aek Kotabatu. Aek dalam bahasa batak artinya sungai.
Menurutnya, kondisi geografis sangat memengaruhi karakter, basis ekonomi, dan kecendrungan politik masyarakatnya. Dari segi bahasa, org Kualuh mempunyai logat dan dialek pesisir sedangkan orang Aek logat dan bahasanya cendrung ke batak Toba dan sebagiannya lagi berdialek Tapsel.
Dari sisi ekonomi, masarakat Kualuh identik sebagai nelayan (meski tidak semua). Mereka memanfaatkan sungai sebagai mata pencaharian sedangkan masyarakat Aek identik dengan bertani/berkebun. Mereka memanfaatkan sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (mandi, memasak, mencuci) bukan sebagai pencaharian.
Begitu juga karakter masarakatnya relatif berbeda. Orang Kualuh dikenal sebagai masyarakat yang religius, fleksibel, senang bercerita, sulit diprediksi dan menyukai seni. Konon tradisi bordah dan endeng-endeng berasal dari Kualuh.
"Iyokan di orang, lalukan di awak" (iyakan saja apa kata orang, lakukan apa yang harus kita lakukan) adalah sebuah pribahasa menggambarkan bagaimana susahnya memprediksi orang Kualuh.
Sedangkan orang Aek dikenal fanatik, keras kepala, blak-blakan dan konservatif. "Nang diho nang di au tagonan di huting" (Tak sama kau tak sama aku lebih baik sama kucing) adalah sebuah pribahasa yang menggambarkan betapa keras orang Aek.
"Itu hanyalah sebuah asumsi berdasarkan hipotesis sosiokultural masyarakat Labura sesuai wilayahnya. Tidak bermaksud menyudutkan, murni berdasarkan pengamatan/pengalaman saya dalam menganalisis kondisi sosiopolitik di Labura. Hipitesis," tandas Anggra.