Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ketika berbicara pertanian secara tidak langsung kita akan berbicara kebudayaan dan peradababan umat manusia. Tercatat dalam sejarah bahwa Revolusi Pertanian menyertai Revolusi Kebudayaan Manusia pada sebelas ribu tahuan sebelum Masehi (11.000 SM). Diawali di daratan hijau Mesopotamia dalam berbudidaya tani, lalu terdapat di sepanjang tepian Sungai Nil, Mesir kuno dan kemudian dilanjutkan oleh para pelaut Phonencia ke Yunani. Ternyata proses pertanian selalu ada dan beriringan dengan kehidupan manusaia hingga tidak luput dalam penjagaan secara konstitusi negara.
24 September 2020 menjadi momentum peringatan Hari Tani Nasional sekaligus waktu yang tepat dalam merefleksikan perjalanan 60 tahun Undang Undang Pokok-pokok Agraria No 5 Tahun 1960. Tepat pada 60 tahun yang lalu Presiden Soekarno mengesahkan Lembaran-Negara No. 104 di Jakarta dan mulai diberlakukan pada saat itu juga setelah diundangkan oleh Sekretaris Negara, Tramizi.
Undang-undang ini disusun oleh pemerintah pada saat itu dan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang secara otomatis mencabut fungsi konstitusional dari beberapa pasar berikut; "Agrarische Wet” (staatsblad 1870 No. 55), sebagaimana yang termuat dalam pasal 51 “Wet op De Staatsinrichting van Nederlands Indie” dan ketentuan dalam ayat-ayatnya dalam pasal itu. Selain itu terdapat beberapa pasal yang ikut terlepas setelah pengesahan UUPA 60 yaitu, Domeinverklaring, Algemene Domeinverklering, Domein Verlkering untuk Sumatra, Kresidendan Menado, dan untuk residentie Zuider en Oonterafdeling van Borneo.
UUPA 60 yang disusun dengan semangat dan tujuan yang sangat mulia dengan menegaskan keberfungsian bumi, air, dan ruang angkasa dan harus pula sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi kebutuhanannya sesuai tuntuan zaman dalam perihal agrarian. Selain dari hal itu hukum agrarian nasional harus mewujudkan dari pada penjelmaan azas kerohanian, negara dan cita-cita bangsa, yaitu Ketuhana Yang Maha Esa, Perikemanusaian, Kebangsaan, Kerakyataan dan Keadilan sosial. Terkhusus sebagai implementasi dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan dalam Pidato Presiden 17 Agustus 1960.
Namun begitu kuat dan sadarnya para pendahulu kita dalam memperhatikan persoalan pertanian, sayangnya hanya sedikit yang sampai pada generasi saat ini. Mungkin pengaruh pergulatan rentetan peristiwa dan juga peralihan zaman membekukan kesadaran kita. Tahun ini menjadi tahun dengan penuh ketidak pastian dalam segala sektor, terlebih di sektor pertanian yang memang sektor yang tidak pernah pasti di negeri ini. Pandemi menambah tumpukan akumulasi persoalan agraria yang tidak pernah terselesaikan dari waktu ke waktu dari rezim ke rezim.
Dalam tulisan ini saya membawa dua paradoks laten yang akan dihadapi pertanian Indonesia ke depan, mungkin sudah familiar namun tetap menjadi concern dalam tubuh masa depan pertanian. Yang pertama adalah peralihan zaman dan modernitas sosial, dan yang kedua adalah krisis generasi dan keberlanjutan.
Peralihan zaman dan modernitas sosial tidak akan pernah kita bendung kehadirannya dan akan terus bergerak alih sesuai waktu. Hal ini akan menjadi permasalahan besar jika kita terus lalai dan tidak kembali untuk tersadar. Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan luas lahan sawah di seluruh Indonesia hanya tersisa 7,4 hektar. Ini adalah alarm bahaya yang harus kita tangkap sinyalnya demi keberlangsungan generasi kedepan. Dengan luas lahan tersisa harus diperjuangkan demi memenuhi kebutuhan pangan 267 juta jiwa, jangan sampai kita berdiri di tanah yang subur beriklim tropis yang kaya sumber daya alam harus memenehui pangannya melalui kebijakan Impor. Di lain sisi harusnya para punggawa kekuasaan dan pemegang otoritas dapat melihat potensi rakyat dan menjadikan sebagai our strategic partner bukan malah investor luar negeri. Namun kejadiannya lain, bangsa sendiri di pandang lebih baik menjadi kuli saja. Harusnya kita dapat mengingat-ingat kembali sejarah namun tetap harus terlepas dari romantisasi belaka, dimana Bung Karno turun dari sepedanya bertemu dengan pak Marhaen dan mendapatkan inspirasi, tapi sekarang yang ada semcam nihilisasi dan penghinaan terhadap saudara sendiri.
Saya pikir sebagaimanapun pesatnya perkembangan zaman, begitu tingginya tingkat modernitas dan sekuat apapun pengaruh diplomatis hubungan luar negeri bangsa ini, sekali petani berhenti menanam maka berakhirlah usia bangsa ini. Harusnya perkembangan zaman ini menjadi suatu yang menguntungkan dan membantu proses pertanian serta sesuai dengan kebutuhan rakyat, bukan malah menjadi bencana. Sejenak tidak mengapa kita melihat bagaimana petani di Thailand dan Jepang memanfaatkan hal itu tanpa gagap dan silau.
Regenerasi dan keberlanjutan pertanian Indonesia menjadi keresahan kolektif, para pelaku tani kerap kali kita temui sudah berusia senja dengan tubuh yang begitu renta menghabiskan harinya di ladang maupun sawah serta menggadaikan kekar tubuhnya untuk bangsa ini sebagai manifestasi nasionalisme tanpa perlu mengakui maupun diakui, pak Agus Pakpahan menyatakan petani dalam bukunya “Petani Menggugat” ialah The real investor , mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk negeri ini.
Seiring berjalannya waktu, trend social juga mulai bergeser dari masa ke masa. Kehadiran teknologi super canggih dalam era Revolusi 4.0 kerap kali memebuat kita gagap dan silau dalam menyambut kemajuan zaman itu. Tidak jarang statement “pertanian itu jadul, kotor, tidak prospek” dan semacamnya selalu hadir ditengah-tengah pemuda. Namun banyak juga yang menyatakan diri mereka peduli akan pertanian tapi sekadar ucapan selamat hari tani dan juga meramaikan sosial media dengan twibbon foto kebanggaan mereka, atau yang paling memorial adalah kegiatan serimonial yang sering di adakan dilingkungan petani, petani bukan objek pelengkap program kerja belaka, atau objek perjuangan katanya. Tapi petani adalah subjek, petani adalah kita.
Meski begitupun saya akan tetap angkat topi dan menghaturkan salam hormat untuk pemuda generasi milenial yang berani turun dan berada di garis yang sama dengan petani, pertanian Indonesia tidak akan selamat ditangan generasi yang penuh drama di sosial media terlebih apatis, termasuk seperti saya yang hanya pandai bersambat duniawi. Pertanian adalah jalan yang sunyi dan tidak pasti, satu-satunya yang membuat bertahan adalah harapan dan tanggung jawab moral. Petani akan tetap ada dan melawan dengan cara terus menanam, meleburkan diri hingga tumbuhan terakhir dimuka bumi ini ikut
====
Penulis Ketua Umum KAMMI Komisariat INSTIPER Yogyakarta/Mahasiswa Institut Pertanian Stiper Yogyakarta
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]