Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Usulan peraturan daerah (Perda) tentang pengakuan masyarakat ada di Sumatra Utara mendesak untuk diperhatikan, mengingat tingginya konflik yang terjadi terhadap masyarakat adat di propinsi ini. Demikian pesan dialog virtual yang digagas Prodi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU, KSPPM, BAKUMSU, dan IAPA, dan HARI, Jumat (25/9/2020) sebagai8mana keterangan tertulis Hutan Rakyat Institute yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu (30/9/2020). Para narasumber berkumpul di secara terbatas di ruangan gedung Prodi Administrasi Publik FISIP USU, sementara ratusan peserta bergabung secara virtual.
Dialog virtual ini dilakukan mengingat Ranperda Tatacara pengakuan dan perlindungan hak dan penetapan masyarakat adat sedang di bahas oleh DPRD Sumut tahun 2020 ini.
Dosen UNIKA St Thomas Medan, Dr. Djamanat Samosir menyampaikan, 80% masyarakat desa yang tersebar di Sumatera Utara hidup dengan adat istiadat dalam mengelola sumberdaya alam dan pertanian, namun, mereka setiap saat terancam digusur. Jadi dengan kondisi seperti ini sangat penting dibentuk Perda yang akan memberikan kepastian hukum bagi mereka.
Djamanat menyebutkan, bagian yang terpenting bagi masyarakat hukum adat yaitu dengan keluarnya putusan MK 35 sebagai implikasi Kementerian Dalam Negeri. Di situ dikatakan bahwa pemerintah mengakui hutan adat bukan sebagai hutan negara.
Kepala Program Studi Administrasi Publik, FISIP USU, Dr Tunggul Sihombing MA menyampaikan contoh bagaimana hukum adat berlangsung baik dan diakui seperti di Bali. Dalam konteks administrasi di level desa, desa adat juga diakui dan bisa menjadi alternatif.
Tunggul melanjutkan, bila rancangan peraturan daerah ini nanti disahkan, maka harus ada Perda ditingkat kabupaten/kota yang langsung bersentuhan dengan komunitas masyarakat.
Peran Perempuan
Dosen senior FISIP USU, Asima Siahaan PhD, mengatakan, kesetaraan gender juga perlu diperhatikan dalam mempromosikan kembali masyarakat adat. Pelibatan perempuan harus dilakukan secara sadar karena sudah begitu lama peran perempuan termarjinalkan. Partisipasi dalam perumuskan perda dan peraturan lainnya perlu untuk memastikan dari awal ada suara perempuan dalam draft kebijakan.
“Kita tidak bisa beromantisme mengatakan bahwa sudah ada dengan sendirinya kesetaraan gender dalam praktik adat, kesetaraan gender itu sesuatu yang harus diperjuangkan dalam berbagai ruang, bukan taken from granted, termasuk dalam masyarakat adat," ujarnya.
Direktur KSPPM, Delima Silalahi, menambahkan, khusus di wilayah Tapanuli saat ini, masyarakat adat dari Desa Pandumaan dan Sipituhuta telah mendapat SK pencadangan hutan adat seluas lebih dari 5.000 hektar, namun ini masih sangat jauh dari ideal. Komunitas masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta baru sedikit dari 15 komunitas yang pernah diajukan kelompok masyarakat dari Tapanuli.
Delima mengataka, ke depan, harus ada kerja sama lebih luas dengan akademisi, kita jarang sekali memiliki perspektif akademis yang memiliki memiliki keberpihakan kepada masyarakat.
Dari kajian hukum, Direktur BAKUMSU, Manambus Pasaribu SH MH,menguraikan bahwa secara konstitusional, negara memberikan pengakuan, perlindungan, dan hak masyarakat adat. Kedudukan masyarkat adat pun diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, dan UUD 1945, ditambah dengan program Reforma Agraria yang telah memandatkan harmonisasi.
Pada tahap implementasi, papar Manambus, konteks perlindungan masyarakat adat bisa dengan menggunakan berbagai pasal dalam konstitusi dan peraturan perundangan undangan seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Kehutanan, dan lain-lain. Perda yang saat ini sedang didorong kepada DPRD Sumut menggunakan Permendagri No. 52 Tahun 2014 terkait pedoman, untuk membentuk panitia identifikasi, dan verifikasi.
Menurutnya, adanya Perda masyarakat adat sangat penting, sebab pembangunan yang dilaksanakan pemerintah sekarang berbicara tentang ruang dan wilayah. Maka upaya mendorong Perda akan mempercepat penyelesaian konflik ruang yang terjadi.
Selain itu, terangnya, ada beberapa tujuan dari Perda masyarakat adat, antara lain memberikan kepastian hukum; hak dan akses terhadap sumber daya alam; peran masyarakat adat dalam mengambil keputusan; pemekaran wilayah berdasarkan hutan adat; dan penyelesaian konflik masyarakat adat dengan perusahaan dan pemerintah.