Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Menteri Kelautan dan Perikanan diminta untuk melakukan revisi terhadap kolom Pelabuhan Bongkar yang terdapat pada Surat Izin Penangkapan Ikan-Operasi Tunggal (SIPI-OT) dan lampiran Surat Izin Usaha Perikanan Perseorangan (SIUP-OI) dengan mencantumkan keterangan Berlaku Di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya keberadaan kolom Pelabuhan Bongkar tersebut dapat mempersulit nelayan dalam mengurus Surat Layak Operasi (SLO) dan Surat Perintah Berlayar (SPB) yang dibutuhkan untuk melaut.
Hal itu dikatakan Roi Andi Panjaitan, salah seorang nelayan yang juga pemilik kapal nelayan GT 30, dalam keterangannya, Minggu (11/10/2020).
Roi Andi Panjaitan mengatakan, dalam SIPI-OT dan lampiran SIUP-OI yang harus diurus setahun sekali tersebut, tercantum 2 kolom yakni Kolom Pelabuhan Pangkalan dan Pelabuhan Bongkar. Pada kolom Pelabuhan Pangkalan, yang biasanya menggunakan nama daerah, tercantum asal nelayan. "Misalnya nelayan itu berasal dari A, maka pada kolom Pelabuhan Pangkalan tercantum nama A," ujarnya.
Namun hal itu berbeda pada kolom Pelabuhan Bongkar. Pada kolom ini tidak pernah dicantumkan nama pelabuhan bongkar. "Kolom tersebut selalu kosong. Namun kosongnya kolom itu, bisa membuat nelayan kesulitan saat hendak mengurus Surat Layak Operasi (SLO) dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) untuk melaut," ujarnya.
Andi mencontohkan ada nelayan dari pelabuhan di provinsi A di Sumatra yang hendak melaut. Dia kemudian berlayar ke wilayah perairan yang masih dalam satu Wilayah Pengelola Perikanan (WPP) yakni WPP 571 yang meliputi Selat Malaka dan Laut Andaman. Seperti diketahui, wilayah laut Indonesia sendiri terbagi menjadi 9 WPP. "Nelayan itu berlayar hingga dimana mereka memperoleh ikan dalam jumlah besar. Dan saat itu harga ikan di pelabuhan di provinsi B sedang tinggi," ujarnya.
Nelayan itu kemudian memilih untuk menjual ikannya di pelabuhan B, daripada membawa pulang ke pelabuhan di Provinsi A. Di samping untuk menjaga kualitas kesegaran ikan dan memperoleh harga jual yang tinggi, langkah itu juga dilakukan nelayan agar dia dapat menghemat biaya.
"Persoalannya kemudian muncul saat nelayan hendak mengurus SLO dan SPB dari provinsi B ketika nelayan hendak melaut kembali. Karena pihak Pengawas Perikanan cenderung menyamakan Pelabuhan Pangkalan dan Pelabuhan Bongkar, maka nelayan itu akan kesulitan untuk mendapatkan SLO. Karena kapal nelayan itu tidak melakukan bongkar tangkapan ikan di pelabuhan pangkalan (provinsi A) sesuai yang tertera pada SIPI-OT dan lampiran SIUP-OI. Dan akhirnya nelayan itu juga tidak dapat mengurus SPB dari Syahbandar. Sebab SLO merupakan syarat mutlak bagi nelayan untuk memperoleh SPB," tuturnya.
Akhirnya, terjadilah kongkanglikong antara oknum pengawas perikanan dengan nelayan itu. Nelayan kemudian memberikan sejumlah uang kepada oknum itu agar dia dapat memperoleh SLO dan SPB. Nelayan menjadi korban akibat ketidakjelasan status pada kolom Pelabuhan Bongkar tersebut," ujarnya.
Karena itu, Roi Andi Panjaitan meminta agar pemerintah, dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Menko Maritim dan Investasi, Kepala BKPM serta Presiden Joko Widodo, untuk dapat memperbaiki SIPI-OT dan lampiran SIUP-OI tersebut, dengan mencantumkan keterangan Berlaku Di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada kolom Pelabuhan Bongkar.
"Sebab, saat berlayar, mobilitas nelayan di laut tentu tinggi. Dan saat hasil tangkapannya mencukupi, nelayan tentu akan memilih pelabuhan terdekat untuk menjual tangkapannya, dengan tujuan untuk efisiensi dibandingkan jika dia membawa tangkapan tersebut ke pelabuhan pangkalan,"ujarnya.
Andi mengatakan, kebutuhan perbaikan pada kolom Pelabuhan Bongkar di SIPI-OT dan lampiran SIUP-OI tersebut sudah sangat mendesak. Sebab selama ini nelayan telah menjadi korban akibat kosongnya kolom Pelabuhan Bongkar pada SIPI-OT dan lampiran SIUP-OI. "Kita minta agar segera dilakukan perbaikan pada keterangan kolom tersebut, dengan mencantumkan keterangan Berlaku Di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga nelayan tidak kesulitan saat hendak mengurus SLO dan SPB," tuturnya.
Andi juga mengusulkan agar pemerintah menghapuskan keberadaan SLO dan SPB bagi kapal nelayan ukuran GT 30 ke bawah yang hendak pergi melaut, seperti yang sudah dilakukan terhadap kapal ukuran GT 10 ke bawah. Sebab, kapal GT 30 ke bawah juga masih menggunakan BBM bersubsidi. "Di samping itu juga akan mempermudah nelayan kecil untuk melaut. Para nelayan kecil tersebut cukup memiliki SIPI-OT dan lampiran SIUP-OI yang harus diurus sekali setahun," jelasnya.