Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
(Refleksi Manyambut Bulan Bahasa)
“Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia".
Ya, salah satu isi Sumpah Pemuda ini tentu adalah bukti bahwa bangsa kita memiliki bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Namun, sudahkah kita menjunjung bahasa persatuan kita dengan menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi secara lisan maupun tulisan?
Sebenarnya apabila kita mendalami bahasa menurut fungsinya yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia.
Berkaitan dengan uraian di atas bagaimana tantangan bahasa Indonesia di zaman sekarang? (baca milenial). Akankah bahasa Indonesia tetap eksis di tengah perkembangan zaman yang makin modern? Khususnya di kalangan remaja dengan bahasa gaulnya atau gencarnya penggunaan bahasa asing di kalangan kaum terpelajar. Oleh karena itu, bertepatan dengan momentum bulan bahasa 2020 ini kita harus bertekad untuk tetap menjaga eksistensi bahasa Indonesia di tengah arus modernisasi an globalisasi (zaman milenial) sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.
Bahasa Indonesia di Era Milenial
Dewasa ini kita hidup dalam era globalisasi, yang dipicu oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang transportasi dan revolusi di bidang komunikasi. Dengan perkembangan yang sangat cepat di bidang transportasi dan komunikasi, arus globalisasi terasa bertambah kuat, sehingga dunia terasa makin datar (Thomas Friedman, 2005). Akibat derasnya arus globalisasi batas negara menjadi kabur dan akhirnya hilang. Tekanan arus globalisasi yang melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan.
Selain itu, arus globalisasi berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebook misalnya, memberi banyak perubahan bagi sturktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri.
Berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa nasional. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesian-English’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia.
Sulit dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur penggunaannya. Mulai dari judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing.
Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita telah ikut andil dalam mengikis kepribadian dan jati diri bangsa kita sendiri. Atau bahkan merusak tatanan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara seperti yang termaktub dalam ikrar Sumpah Pemuda dan UUD 1945.
Munculnya Bahasa Gaul
Penggunaan bahasa gaul di kalangan remaja di era milenial juga salah satu yang menjadi tantangan eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. Hal ini tentunya berimplikasi dengan makin sulitnya mengetahui bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan karena terlalu seringnya menggunakan bahasa gaul, kita tak sadar bahwa bahasa tersebut bukan bahasa yang baik dan benar. Tidak jarang dalam acara formal pun banyak orang yang menggunakan bahasa gaul, dengan alasan tidak sengaja, karena sudah menjadi kebiasaan dalam berbicara sehari-hari.
Bahasa gaul tersebut masih banyak digunakan oleh para remaja untuk menulis dalam Facebook atau Twitter, maupun di dalam berbahasa sehari-hari. Beberapa kata yang sering dijumpai dalam “status” para pengguna jejaring sosial, misalnya, kata gue. Kini, untuk menyatakan kata saya para penutur bahasa gaul juga menggunakan kata saiia, aq, q, ak, gw, gua, w, akoh, aqoh, aqu, dan ane. Kemudian, kata lo atau lu sama seperti kata gue. Kini, untuk menyatakan kamu penutur bahasa gaul juga menggunakan lw, elu, elo, dan ente.
Melihat fenomena penggunana bahasa gaul dikalangan remaja milenial tersebut, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara serta sebagai jati diri suatu bangsa yang harus dipertahankan. Hal ini berimplikasi bahwa mempertahankan (pemakaian) bahasa Indonesia berarti mempertahankan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri. Bukankah Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan oleh warga negara Indonesia dan sebagai bahasa persatuan antar warga? Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa terbesar di dunia. Mengapa bahasa yang besar di tidak bisa dipakai oleh generasi milineal, lantas siapakah yang harus di salahkan?
Penutup
Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan yang penulis sampaikan terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia, sebagai warga Indonesia yang baik, ada beberapa hal yang perlu kita perbaiki. Pertama, dari lingkungan keluarga. Bahasa yang digunakan anak tergantung kepada orangtuanya. Orang tua harus mengajarkan dan membiasakan berbicara Bahasa Indonesia kepada anaknya, dimulai dari kecil.
Kedua, di lingkungan sekolah. Guru wajib menggunakan Bahasa Indonesia ketika menerangkan kepada murid-muridnya. Ketiga, pemerintah harus menekankan kepada warga Indonesia agar tidak terlena dengan budaya asing, hingga lupa dengan budaya sendiri. Menguasai dan mencintai bahasa negara sendiri merupakan sebuah kebanggaan, jati diri, dan ciri khas Indonesia karena dia merupakan bahasa persatuan. Selain itu, kita orang Indonesia tidak tertipu oleh orang asing yang lebih pandai dan lancar berbahasa Indonesia. Kita boleh saja mempelajari bahasa asing, tetapi bukan berarti kita melupakan dan gengsi dengan bahasa persatuan kita, yaitu Bahasa Indonesia.
====
Penulis Guru SMA Negeri 1 Dolok Batu Nanggar, Simalungun.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]