Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Dairi. Melalui tayangan Youtube, Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), kembali menyampaikan penolakan kehadiran tambang PT DPM di Parongil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Dalam dialog yang dilakukan secara zoom, Rabu (4/11/2020), dipandu Penrad Siagian dan ditayangkan lewat Youtube tersebut, SUNYI (suara peyintas) adalah kisah dan narasi dari para peyintas yang cenderung diabaikan dan berada di pinggiran, yang jauh dan dijauhkan dari panggung dan pusat-pusat kekuasaan.
Kekuasaan sering membangun sejarah dan kebenarannya sendiri, meninggalkan cerita para peyintas. Bagi para peyintas, sering perjuangan itu adalah jalan SUNYI. Jalan SUNYI bagi perjuangan keadilan dan kebenaran. Dalam ke-SUNYI-an, suara-suara peyintas itu menyuarakan kisah-kisahnya, jalan SUNYI itu menyuarakan kebenarannya.
Sejak PT DPM masuk ke Dairi tahun 1998 dengan melakukan aktivitas eksplorasi berdasarkan Keppres RI No.53/Pres/1/1998 tertanggal 17 Februari 1998 melalui Kontrak Karya dengan luas lahan 27.420 Ha.
Berbagai kejadian terjadi, dimana pola hidup masyarakat menjadi konsumtif, konflik tanah sesama keluarga dan banyak lainnya. PT DPM tidak hanya melakukan pertambangan di areal kawasan hutan lindung yang bagian area konsesinya, tetapi juga merupakan sumber mata air bagi kehidupan dan sumber mata air bagi pertanian masyarakat luas.
"Ini semua berpotensi menyebabkan terjadinya krisi air, pangan dan rusaknya lingkungan. Belum lagi Dairi merupakan daerah patahan gempa yang jarak patahan ke areal pusat tambang hanya ±15 km serta akan menjadi dampak juga bagi masyarakat sepanjang aliran sungai," kata Penrad.
Mewakili masyarakat sekitar tambang, Rainim Purba menjelaskan ada beberapa alasan mereka menolak kehadiran tambangan PT DPM. Pertama, masayarakat yang tinggal di areal sekitar tambang mayoritas petani, yang hidup dari hasil pertanian, ada tanah, air, hutan yang memberi kami makan serta kekayaan bahkan kesejahteraan. Kebiasaan/ budaya kami adalah bertani bukan menambang. "Kami tidak pernah makan dari hasil tambang," ujarnya.
Alasan kedua, sumber air masyarakat sangat dekat jaraknya dengan pertambangan. Hal ini menjadi kekhawatiran warga, karena tambang butuh air yang banyak untuk aktivitas maupun konsumsi para pekerja, sehingga sumber air menjadi kering.
Ketiga, Dairi berada di daerah patahan gempa berdasarkan info dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), nah sedangkan DPM beraktivitas dibawah tanah, menambang dibawah tanah. Tidak ada yang bisa menjamin keberlangsungan hidup kami terhindar dari gempa yang membuat tanah amblas. "Keempat, budaya dan adat kami akan bergeser bahkan hilang karena masuknya orang luar yang membuat banyak anak-anak kami tidak mengenal lagi adat-adat sebagai orang batak , adanya kearifan lokal dan pengetahuan lokal yang harus dihormati dan dihargai," paparnya.
Monica Siregar dari Divisi Pengorganisasian YDPK yang menjadi host online Paritas Institute mengatakan, ada berbagai hal dimana DPM sendiri dari segi kepatuhan peraturan di Indonesia, dalam AMDAL DPM tahun 2005 banyak terdapat persoalan seperti tidak adanya analisis resiko bencana dalam amdal, minimnya partisipasi masyarakat dalam kehadiran tambang dan ada perbedaan klasifikasi usaha dalam surat administrasi terdaftar ajak PT DPM.
Di sini YDPK hadir mendampingi masyarakat di Dairi sejak tahun 2008, dengan tujuan mengajak masyarakat untuk bisa menjaga lingkungannya, berdaulat atas hak yang dimiliki dan bisa mempertahankannya, termasuk hak ekosob maupun sipol.
Sistem pengorganisasian yang dilakukan adalah dengan hidup berbaur dengan masyarakat dan merasakan bagaimana masyarakat sendiri menikmati kehidupannya, bersahabat dengan alam serta melimpah dengan kekayaan alam.
Lembaga mencoba menggali sejarah rakyat, untuk menghidupkan kembali filosofi kehidupan mereka yang tidak terlepas dari tanah, air dan hutan. Berharap dengan pegorganisasian ini masyarakat menjadi pelaku dalam perjuangan menjaga lingkungan dan bisa menyuarakan haknya.
Masyarakat belajar bersama dengan sistem budaya/ kebiasaannya yang sejak dulu sudah hidup bersahabat dengan alam, menghargai seluruh kekayaan alam yang diwariskan leluhurnya dan berdamai sesamanya/ saling tolong menolong.
"Harapan kami kedepan masyarakat lebih memahami dan sadar serta bertindak dalam memperjuangkan haknya termasuk hak mendapat lingkungan yang sehat, hak mendapatkan keadilan, hak menyampaikan pendapat dan hak mendapatkan perlindungan/ keamanan dari negara," ujarnya.