Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
WACANA untuk memulangkan guru ke rumah nasional (wilayah pusat) menjadi pembicaraan serius di kalangan dunia pendidikan. Sejak tahun 2000 dengan adanya sistem otonomi daerah rumah guru yang berdiam di tingkat nasional dipindahkan ke tingkat daerah. Semua kebijakan dan program serta fungsi guru diserahkan ke provinsi dan kabupaten/kota.
Kini,gagasan untuk memulangkan guru ke pusat telah dicetuskan Presiden Jokowi ketika ia bertemu dengan sejumlah insan pendidikan di Karawang (12 Desember 2019). Beliau menyatakan kemungkinan guru bakal ditarik kembali sebagai ASN pusat dan bukan daerah.
Sebenarnya gagasan mengembalikan guru ke pusat sudah beredar di arus bawah. Misalnya, PGRI beberapa tahun yang lalu (Koswara,2019) PGRI pusat dan daerah telah mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan bila guru ditarik kembali sebagai pegawai pusat. PGRI dalam hal ini sudah lama mendorong aspirasi sentralisasi guru. Seperti halnya TNI dan Polri.
Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, TNI dan Polri adalah pertahanan negara secara eksternal dan internal. Guru pun pada hakekatnya sama dengan pertahanan pusat. Kedua, saat ini di tengah era ‘perang budaya global’ semestinya kekuatan guru dapat menjadi ‘prajurit’ di bidang sumber daya manusia (SDM). Oleh karena perang gaya baru sekarang adalah perang SDM.
Peran guru dalam menghadapi perang SDM dan budaya milinial makin strategis, bahkan jauh melampaui TNI dan Polri. Melayani pendidikan generasi masa depan jauh lebih sulit. Oleh karena itu, menjadi aktor pertahanan negara dalam kebudayaan melayakkan guru untuk berada di aras nasional.
Ketiga, tingkat keterlibatan kolusi, korupsi dan nepotisme menjadi lebih rendah karena jarak lintas sektoral antar daerah semakin jauh karena telah diambil alih oleh pemerintah pusat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penanganan guru di daerah terkadang bagai “budak pendidikan” yang harus mengabdi kepada para kepala daerah.
BACA JUGA: Musisi Sumatra Utara Masa Revolusi
Gambaran ini sesuai dengan yang pernah disampaikan seorang cendekiawan pendidikan,”Bila kebutuhan sehari-hari jatuh pada urutan pertama dan keamanan fisik terganggu , maka perlindungan dan jaminan sering hanya mungkin didapat dengan bergantung pada atasan”(Scott,1983). Kondisi ini “memunculkan ‘relasi tuan-hamba’ yang sebenarnya tidak sehat dalam demokrasi pendidikan di Indonesia. Banyak kasus diskriminasi pada guru, kepala sekolah, pengawas, bahkan pegawai dimutasi karena motif politik. Tidak sedikit kasus malapraktik rekrutmen guru baik CPNS ataupun guru ber-SK daerah/guru honorer yang diangkat karena relasi dan bukan prestasi
Ketua PGRI pusat, Dr Unifah Rosyadi mengaspirasikan wacana sentralisasi guru. Menurut beliau,’setidak-tidaknya para kepala sekolah dan pengawas menjadi pegawai pusat dan akan lebih baik lagi bila guru ikut sebagai pegawai pusat. Hal ini diharapkan bahwa kemungkinan besar tatakelola guru akan lebih fokus dan tidak terbelah dan terkotak setelah UURI No.23 Tahun 2014.
Kesimpulan
Seperti TNI dan Polri, maka guru wajib ditenagapusatkan. Jutaan guru harus dikelola secara sentralistik agar mereka memiliki satu komando, satu barisan lurus mengusung kejayaan bangsa. Apabila TNI menjaga kepulauaan, polisi menjaga ketertiban masyarakat, maka guru memartabatkan masyarakat.
Mendambakan guru yang berada pada posisi pusat, sentralistik, dan nondesentralisasi akan lebih mudah dikelola pada satu barisan. Guru honorer, BOS, TPG, dan karier guru diurus dengan sistem merit.
Apabila semua komponen mendukung wacana persiapan untuk mengembalikan guru ke aras pusat untuk lebih berwibawa dan bermartabat, maka Indonesia memiliki pemertahanan budaya dan pendidikan yang lebih tangguh menghadapi masa depannya. Selmat Milad ke-75 Guru Indonesia!
====
Penulis Dosen dan Sastrawan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]