Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Makassar. Tanah Luwu di Sulawesi Selatan (Sulsel) pernah melahirkan sosok perempuan hebat yang tak gentar melawan penjajah Belanda, ialah Oppu Daeng Risaju. Kegigihan Opu melawan penjajah kala itu bahkan membuat dirinya harus dibuat tuli seumur hidup oleh Belanda.
Atas jasanya terhadap bangsa dan negara, Wanita kelahiran Kota Palopo 1880 silam itu mendapat gelar pahlawan nasional dari Pemerintah pada tahun 2006 lalu.
Opu daeng Risaju semasa kecilnya dikenal dengan nama Famajjah. Dia adalah anak dari Muhammad Abdullah to Baresseng dan Ibu Opu Daeng Mawellu yang merupakan keturunan bangsawan dari Kerajaan Luwu.
Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong menceritakan betapa sedihnya dia melihat nasib dan keadaan Opu Daeng Risaju sebagai pejuang kemerdekaan semasa hidupnya. Pertemuan Anhar dengan Opu daeng Risaju yang sudah masuk usia senja sekitar tahun 1956 di Kota Parepare, Susel.
"Dia tinggal di rumah yang reot, gubuk bahkan sudah hampir roboh. Saya awalnya tidak kenal siapa dia, seorang perempuan yang tidak dapat mendengar. Baru saya tahu setelah saya di Jakarta dia adalah pejuang besar. Menangis saya ingat itu, seperti waktu mengingat ayah saya yang meninggal karena pembunuhan Westerling," kata Anhar saat berbincang dengan detikcom, Selasa (10/11/2020).
Famajjah kecil yang besar dalam lingkungan bangsawan tumbuh dengan buta huruf. Hal ini dikarenakan adat setempat yang tidak memperbolehkan anak perempuan bersekolah di sekolah Belanda karena dianggap kafir. Namun, perempuan ini dididik secara Islam kuat.
Setelah dewasa, dia menikah dengan Muhammad Daud seorang penyiar agama. Pergerakan Opu Daeng Risaju dimulai ketika masuk menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-pare diumur 40 tahun. Bahkan, Opu Daeng Risadju dikenal berteman sangat baik dengan Kartosuwiryo.
Saking dekatnya, kata Anhar Gonggong, Opu Daeng Risadju pernah menjadi penghubung yang dikirimkan oleh Abdul Kahar Muzakkar ke Jawa Barat untuk menemui Kartosoewiryo, pemimpin tertinggi gerakan DI/TII tahun 1953.
Pada tahun 1930, Opu Daeng Risaju pulang ke tanah kelahirannya ke Palopo. Di sana, dia mendirikan PSII di daerah Luwu dan menjadi ketua di sana. Sepak terjang Opu Daeng Risadju dengan propaganda politik dan semangat antipenjajahannya mulai tercium oleh pihak Belanda. Propaganda ini yang kemudian membuat Belanda menangkapnya dan di penjara selama 12 bulan.
Puncak perlawanan Opu Deng Risadju saat berhasil menghasut para pemuda di Palopo untuk melakukan perlawanan kepada penjajah dan menjadi wanita paling dicari se-Sulawesi kala itu. Beberapa lama kemudian, dia ditangkap pada usia sekitar 60 tahun dan dipaksa berjalan kaki sejauh 40 kilometer.
Hukuman yang paling berat yang diterimanya adalah saat dipaksa berlari keliling lapangan bola di waktu siang hari dengan diiringi letusan senapan di dekatnya. Bahkan sebuah senapan diletakkan di samping telinganya dan diletuskan.
"Letusan itulah yang membuat Andi Risadju rusak gendang telinganya dan tuli seumur hidup," kata Anhar Gonggong.
"Inilah perjuangan hebatnya Andi Risadju, kalau dilihat dari segi fisik Kartini tidak ada apa-apanya. Menderita kayak gitu waktu kemerdekaan dan dilupakan setelah kemerdakaan saat itu," sambung dia.
Setelah kemerdekaan, Opu Daeng Risadju yang sudah renta dan tuli ikut pindah bersama anaknya Abdul Kadir Daud ke Pare-pare. Pada 10 Februari 1964, Opu Daeng Risadju menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di kompleks makam raja Luwu tanpa upacara kehormatan. Dia akhirnya mendapatkan gelar pahlawan dari pemerintah pada 2006 lalu.(dtc)