Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
INDONESIA sejak semula ditempa berdasarkan ide-ide kebangsaan. Gagasan persatuan muncul, sebagai kausalitas kolonialisme yang menyengsarakan. Spirit individual kemudian bertransformasi. Berubah menjadi konsensus bersama untuk merdeka, dengan visi besar sebagai cita-cita. Pembukaan UUD 1945 menjadi tujuan konkrit. Dan, simpul-simpul keberagaman dirangkai di dalam simbol dan lambang negara.
Tujuan awal kebangsaan bisa diinterpretasikan dengan sederhana; agar segenap rakyat terbebas dari segala belenggu. Mereka mandiri, merdeka, utuh sebagai manusia. Berkecukupan akan sandang, pangan dan papan. Cerdas secara intelektual, sehat jasmani dan rohani. Seluruhnya direalisasikan di dalam alur demokrasi yang substansial. Setiap lapisan masyarakat memiliki ruang yang sama untuk memperoleh hak mereka. Dengan begitu, kewajiban sebagai warga negara dapat tergenapi kemudian.
Historical Indonesia tidak sembarangan merealisasikannya. Dekade 80-an, NKRI diakui dan disegani dunia. Asia Tenggara dan Asia Pasifik menyebut kita “macan asia”, karena rancangan pembangunan dan swadaya pangannya. Dekade 50-an, Indonesia hadir sebagai penggagas perdamaian dunia lewat Konferensi Asia-Afrika. Bahkan, pemimin-pemimpin Indonesia di masa silam disetarakan kualitasnya dengan Kennedy, Fidel Castro, Mau Tse Tung dan Khrushchev.
BACA JUGA: Sumpah Sakral Pemuda
Artinya, sejak semula, ide-ide besar sudah ada di dalam sejarah kebangsaan. Peradaban Nuantara sebagai akar NKRI juga tak kalah tangguh, jika dibandingkan dengan Peradaban Yunani-Romawi dan masa pencerahan Eropa--negara-negara Skandinavia. Kita memiliki gagasan orisinil yang juga diakui.
Sriwijaya menguasai perairan Asia Tenggara dan Asia Pasifik abad ke-7, dengan angkatan laut yang mumpuni (Dickry Nurdiansyah, Maritim Nusantara, 2018). Kerajaan Majapahit abad ke-14 memiliki teknologi irigasi dan kedaulatan agraria, atas hasil pertanian dan rempah-rempah. Para arkeolog berhasil menemukan bukti empiris teknologi Majapahit, lewat temuan sistem irigasinya tahun 2019 silam di daerah Jombang, Jawa Timur. Itu berarti, romantisme akan intelektualitas kuno kebangsaan kita, nyata dan ada. Bukan sekadar imaji.
Di tengah krisis kesehatan dan kapital dunia, Indonesia perlu hadir kembali. Menata ulang masa depan, dengan gagasan-gagasan yang menempatkan kolektivisme sebagai patron. Kolonialisme, feodalisme, kapitalisme dan individualisme harus dihanguskan di dalam rukun bernegara, untuk mengejawatahkan jati diri bangsa.
Dalam konteks pembangunan bernegara, akan sangat berbahaya jika, reorientasi pembangunan hanya mengarah kepada infrastruktur fisik dan peningkatan ekonomi, seperti yang telah kita saksikan sebelum Pandemi. Manusia Indonesia perlu diberdayakan. Tidak hanya soal pemberdayaan intelektualitas. Nilai-nilai religiusitan dan moralitas tak boleh diabaikan. Radikalisme dan koruptor adalah contoh nyata pengabaian pembangunan kemanusiaan. Solidaritas kolektif menjadi kering di dalam batin. Kesadaran akan nilai kebangsaan pudar. Berganti dengan ideologi asing yang tak sejalan dengan kultur kebangsaan.
Urgensitas yang harus kita lakukan bersama adalah, reposisi derajat pembangunan kemanusiaan di atas pembangunan infrastruktur fisik dan ekonomi. Kata kuncinya pemberdayaan manusia. Langkah sederhana bisa dimulai dengan mengangkat kembali wacana Manajemen Talenta Nasional. Bukan sekadar Manajemen Talenta untuk ASN dan instansi negara, seperti yang sedang digaungkan sebelum Pilpres 2019.
Kita merindukan petani bisa menyediakan pupuk, bertanam, memanen, hingga produksi mandiri. Kita mengharapkan nelayan memiliki kemampuan budi daya dan nilai tambah. Kita memimpikan pedagang mampu mendistribusikan usahanya lintas daerah lewat digitalisasi produk. Agar monopoli perdagangan tidak terjadi, pasar terbuka lebar dan usaha mikro-menengah tidak kalah dengan kapitalisme konglomerasi. Dengan mereposisi derajat pembangunan manusia dan spirit nasionalisme dengan kesadaran fundamental lewat andil negara di dalam prosesnya.
Pemberdayaan aktor-aktor organik di dalam komunitas; petani, nelayan, pedagang dan wiraswasta di tingkat hirarkis kekuasaan; desa, kabupaten/kota dan provinsi, perlu dibentuk ulang. Bukan sekadar untuk membagi-bagikan kapital. Melainkan terutama untuk membagikan pengetahuan, ide dan pemikiran. Tentu saja digagas melalui Manajemen Talenta Nasional.
Sehingga, diharapkan muncul pekerja-pekerja informal yang memiliki nalar di bidangnya. Mampu bersaing hingga mengekspor usahanya. Memiliki daya saing. Adaptif terhadap segala situasi. Karena itulah, Negara perlu berfikir radikal, hingga kebijakannya menyentuh kaum-kaum terabaikan. Apalagi, UU Desa dan UU Otonomi sebenarnya memberikan ruang untuk itu.
Karenanya, Manajemen Talenta perlu di redefinisi. Rakyat kecillah yang seharusnya menjadi titik sentral pembangunan. Dan, intelektual-intelektual progresif (pakar, akademisi dan intelektual organik) perlu ada dan tumbuh bersama rakyat. Mereka (rakyat) tidak boleh dibiarkan sendiri. Mereka harus dibantu. Mereka harus didampingi.
Gagasan sederhana misalnya dari bentuk Manajemen Talenta Nasional; Saya belum pernah mendengar sekolah nelayan. Sekolah petani. Sekolah pedagang asongan. Yang mana seluruhnya difasilitasi secara formal. Ruang dimana mereka belajar kebangsaan, sekaligus pendidikan vokasional, pengembangan dan peningkatan mutu usaha di seantero negeri. Bukan tidak mungkin, di era digitalisasi, langkah progresif ini dilakukan dan dipikirkan kaum-kaum terdidik, pemerintah dan segenap stake holder Indonesia.
Sebagai konklusi, di situasi krisis--akibat Pandemi Covid-19—berdampak signifikan kepada kaum minor, kecil dan terabaikan. Sehingga, untuk menata masa depan kebangsaan, titik-titik terlemah haruslah kita perhatian bersama.
Modal historical bangsa perlu menjadi acuan, betapa bermutunya peradaban Nusantara di masa lampau. Kita perlu kembali ke-era kejayaan itu, dengan mengangkat derajat kemanusiaan Indonesia sebagai prioritas pembangunan. Sehingga, muncullah peradaban yang mampu berfikir kritis dan adaptif. Hingga akhirnya, generasi mendatang akan menikmati kisah baru Indonesia, yang penuh dengan lautan ide atas kepakaran rakyatnya.
====
Penulis Seorang Esais, Berdomisili di Kabupaten Samosir, Sumut.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]