Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Di tengah krisis iklim dan pandemi virus Corona raksasa industri minyak dan gas (migas) di dunia terpecah menjadi dua kubu. Kubu Eropa menyiapkan transformasi ke energi ramah lingkungan, sedangkan kubu Amerika Serikat (AS) masih bertahan untuk menggunakan migas.
Dilansir CNN, Kamis (4/2/2021), satu kelompok terdiri dari raksasa minyak Eropa seperti British Petroleum (BP), Shell dan Total. Mereka mencoba untuk menjauh dari produksi minyak dan gas, kemudian mengarahkan tujuannya ke energi ramah lingkungan.
Di sisi lain, ada juga ExxonMobil dan Chevron, yang masih bertaruh pada permintaan minyak akan melonjak lagi setelah pandemi. Meskipun mereka mengerti akan ada tekanan global untuk merombak kebutuhan energi secara dramatis.
Yang jelas, bila melihat laporan pendapatan baru-baru ini, saat ini kedua kubu dilanda kerugian miliaran dolar pada 2020 dan menghadapi ketidakpastian 2021.
BP dan Shell memang mulai menunjukkan inisiatif hijau mereka. Para ahli mengatakan jika perusahaan-perusahaan ini benar-benar akan mengubah arah, hal itu harus dilakukan dengan cepat dan tidak setengah-setengah atau bisnis mereka akan tertinggal terlalu jauh.
"Langkah BP dan Shell belum tentu benar. Miliaran dolar dipertaruhkan untuk hasilnya," kata Andrew Logan, direktur senior minyak dan gas di lembaga nirlaba keberlanjutan Ceres.
BP, Shell, dan Total telah memetakan jalur baru perusahaan mereka sejak tahun lalu. Mereka berkomitmen untuk memangkas emisi gas rumah kaca dari operasi mereka sendiri menjadi nol bersih pada tahun 2050.
BP yang berbasis di London berpikir ada kemungkinan permintaan minyak mencapai puncaknya pada 2019. Raksasa minyak itu bermaksud untuk mengurangi produksi minyak dan gas sebesar 40% pada 2030, sambil meningkatkan investasi rendah karbon tahunan.
Sementara itu, Shell yang merupakan perusahaan Inggris-Belanda ingin memprioritaskan perdagangan energi bersih dan membangun bisnis konsumennya dengan rencana untuk menjual lebih banyak energi listrik kepada pelanggan. Mereka disebut telah mencanangkan wacana memiliki jaringan stasiun pengisian kendaraan listrik yang lebih besar.
Bulan lalu, Total di Prancis menjadi perusahaan minyak besar pertama yang memutuskan hubungan dengan American Petroleum Institute. Keputusan itu menyusul sejumlah perpecahan dalam diskusi tentang kebijakan iklim.
Langkah-langkah raksasa migas di Eropa ini dipicu oleh kritik bertahun-tahun dari para aktivis dan pemegang saham. Khususnya ketika Wall Street mulai selektif berinvestasi ke dalam perusahaan yang mau berkomitmen terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.
Mereka juga diharapkan menggunakan 2021 untuk membuat kemajuan dalam transformasi mereka. Meski beberapa dampak yang timbul akan menyakitkan, mengingat transformasi ini berpotensi menimbulkan PHK pada 20.000 pekerja.
Di sisi lain, masa depan tampaknya akan lebih suram bagi raksasa migas dari negeri Paman Sam seperti Exxon dan Chevron, yang sejauh ini menolak perubahan besar pada bisnis mereka untuk melakukan transformasi ke arah energi yang lebih bersih.
Exxon justru melawan kampanye agresif dari aktivis investor yang meminta mereka memikirkan kembali pendekatannya soal energi bersih. Meski begitu, Exxon sendiri mengaku akan menginvestasikan miliaran dolar pada teknologi yang mengurangi emisi hingga tahun 2025.
Tapi upaya itu tidak banyak menjembatani kesenjangan energi terbarukan yang meluas dengan negara-negara Eropa yang telah melakukan investasi besar ke energi bersih dan terbarukan.
"Eropa tetap beberapa langkah ke depan, dan tahun ini kita harus mengharapkan akselerasi lebih lanjut," kata analis minyak Bernstein Oswald Clint.
Sebetulnya, lingkungan politik dapat memudahkan Exxon dan Chevron untuk bergerak ke arah yang baru. Apalagi, Presiden AS Joe Biden sendiri telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim.
Biden telah mengumumkan bahwa AS akan bergabung kembali dengan kesepakatan iklim Paris pada hari pertamanya menjabat, dan dengan cepat menghentikan sewa minyak dan gas baru di tanah federal.
Tetapi perbedaan antara perusahaan di AS dan Eropa, mereka benar-benar bermuara pada pandangan yang berbeda tentang ke mana permintaan minyak mentah pergi begitu pemulihan dari COVID-19.
Pandemi telah menghancurkan pendapatan di seluruh sektor. Penurunan harga bahan bakar Maret lalu, mendorong Exxon dan BP mengalami kerugian tahunan yang jarang terjadi setelah mereka dipaksa untuk menghapus aset miliaran dolar.
Exxon kehilangan US$ 22,4 miliar pada tahun 2020, tahun pertama di merah sejak 1999. BP melaporkan kerugian tahunan sebesar US$ 5,7 miliar, yang pertama dalam satu dekade.
Perusahaan AS masih terus beroperasi dengan asumsi bahwa masalah ini hanya akan berlangsung sebentar. Mereka berpendapat permintaan minyak akan meledak selama beberapa dekade mendatang, terutama karena ekonomi di negara berkembang melaju semakin cepat.(dtf)