Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KONFLIK yang terjadi di Timur Tengah tentu membuat perhatian publik semakin tersita dengan dinamika yang terjadi. Dinamika ini tentu wajar dengan sajian di media bahwa konflik ini menimbulkan korban jiwa bagi kedua belah pihak. Kaum Yahudi merasa bahwa dia adalah bangsa yang terpilih tentu merasa paling berhak atas daerah Yurusalem Timur.
Sebagai bangsa yang pernah mengalami masa sulit ketika kaum Nazi berkuasa pada perang dunia pertama, bangsa Yahudi mengalami “trauma kultural”, Holocaust yang merenggut hampir enam juta jiwa. Trauma ini menjadi dasar bagi kehidupan mereka melakukan gerakan zionis untuk mendirikan Negara Israel.
Trauma ini juga mendapat dukungan yang luar biasa dari barat dengan resolusi PBB No 181 Tahun 1947 yang disahkan dengan membagi daerah Palestina 56% untuk kalangan Yahudi dan sisanya untuk populasi Arab lainnya. Setelah resolusi itu, maka kaum Yahudi memproklamirkan pembentukan Negara Israel.
Tetapi situasi ini tidak berjalan dengan baik, konflik terus berjalan dengan Bangsa Arab di sekitar Timur Tengah. Kaum Yahudi ingin membuktikan dirinya sebagai bangsa yang terpilih. Konflik itu bukannya mereda walaupun ditandai dengan berbagai kesepakatan perdamaian seperti kesepakatan Oslo yang ditandatangani oleh Yitzak Rabin dan Yasser Arafat pada tahun 1993.
Israel terus menunjukkan diri dan berkonflik dengan sekitar wilayah Yerusalem sampai saat ini. Kita mengetahui bahwa Yerusalem adalah kota dengan pengakuan ketiga agama, Yahudi Kristen dan Islam. Masing-masing agama juga mengklaim berhak atas kota terserbut. Kaum Kristen zionis menyakini konflik yang terjadi di Timur Tengah adalah pintu menuju Amargedon. Ketika Amargedon terjadi, maka kedatangan Isa yang kedua kali akan terwujud. Itulah keyakinan dari sebagian Kristen yang melihat konflik itu dengan sentuhan teologis. Walaupun kajian teologis itu masih perlu kita melakukan kajian yang lebih dalam.
Di samping itu juga konflik di Timur Tengah terlepas dari bisnis senjata yang secara ekonomi sangat menguntungkan negara-negara barat. Konflik di sana seperti menguraikan benang kusut, penuh dengan faksi-faksi yang memperjuangkan haknya. Kita membela apa dan siapa, susah untuk menjawabnya. Di sana ada Hamas dan Fatah, Kristen dan Islam, kita membela siapa? Tentu kita membela dari sisi kemanusiaan bukan dari sisi ideologi atau keyakinan.
Kontestasi seputar konflik di Timur Tengah bergulir dengan cepat. Ditambah dengan liputan media yang turut berperan untuk memberikan data lapangan yang masih perlu kajian lebih dalam lagi. Situasi ini juga dimanfaatkan oleh sebagian pihak karena membaca konflik ini dari sudut agama, bahkan dipolitisir sebagai pertikaian antara Muslim dan Yahudi. Situasi ini menyusuhkan kepada kita fenomena para simpatisan Palestina dengan berbagai cara melakukan semacam gerakan dari sumbangan donasi dan pemakaian atribut bendera Palestina.
Fenomena ini bukan hanya dilakoni oleh rakyat biasa saja, tetapi termasuk juga pejabat publik turut memainkan situasi dengan kepentingan tertentu. Apakah orientasi peran ini untuk kepentingan politik atau kepentingan tertentu, perlu penelusuran yang lebih dalam.
Namun satu hal yang pasti gerakan ini berpotensi memainkan sentiman agama yang dapat menarik perhatian dan keterlibatan massa bahkan umat beragama. Massa yang melihat situasi ini bisa saja melihatnya dengan kacamata kuda karena lemahnya literasi. Mereka bisa saja mengambil kesimpulan bahwa konflik ini adalah masalah agama. Itulah sebabnya perlu memberikan informasi yang benar terkait dengan konflik Israel-Palestina, supaya masyarakat khususnya ulama dan kaum akademisi sebagai pilar penjaga persatuan dan kesatuan bangsa mendapat pencerahan dan menyadari dirinya sebagai tiang-tiang penggerak moderasi beragama.
BACA JUGA: Ada Apa dengan PGI?
Indonesia itu sebuah bangsa yang besar, besar karena terdiri dari beragam agama, suku dan ras. Kita hidup dengan keberagaman sebagai anugerah Allah bagi kehidupan saat ini, kita pantas mensyukuri itu. Sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila tentu negara ini menjamin kebebasan rakyatnya menjalankan keyakinan, walaupun berbagai daerah masih terjadi kasus intolerasi.
Kasus-kasus intoleransi sering terjadi di berbagai daerah, khusus masalah pendirian rumah ibadah yang menimbulkan konflik di tingkat akar rumput. Penyelesaian konflik tetap masih menyisahkan sejumlah pertanyaan, apakah aturan itu masih berjalan atau tidak. Itulah pihak pemerintahkan kita mensosialisasikan moderasi beragama. Moderasi beragama sangat diperlukan, ketika berkembang klaim kebenaran antara yang absulut dan subjektivitas, antara yang interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, antara radikalisme dan sekularisme.
Radikalisme agama adalah musuh bersama kita yang justru merusak rasa persatuan dan kesatuan anak bangsa. Sikap ini dapat mengancam dan berimbas kepada kehidupan bermasyarakat, bangsa dan bernegara. Moderasi beragama merupakan sarana bagi kita semua untuk mewujudkan toleransi dan kerukunan yang dapat tercipta di dalam sendi-sendi kehidupan kita.
Bukankah kehidupan kita saat ini membutuhkan sikap beragama yang semakin dewasa yang sangat menghargai keberagaman.Keberagaman itu adalah anugerah Tuhan yang harus kita memeliharanya demi persatuan dan kesatuan. Tidak elok rasanya kalau masih ada anak bangsa ini yang ingin mendirikan paham yang sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan itu sendiri adalah interpretasi yang memiliki segudang interpretasi.
Interpretasi tidak bisa dijadikan dasar untuk merusak rasa persatuan yang telah ditanamkan oleh pendiri bangsa ini. Para pendiri bangsa ini telah memutuskan Negara Pancasila bukan saatnya lagi kita merusaknya tetapi era pandemic ini kita menjalin persatuan dan kesatuan seperti iklan televisi itu.
Ayo jalin persatuan sesama anak bangsa dengan persatuan yang berkeadilan sosial! Kita dapat melawati masa sulit ini. Kalau bukan kita siapa lagi, tidak mungkin bangsa lain membangun Negara Indonesia. NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah kebanggaanku.
====
Penulis Dosen IAKN Tarutung
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]