Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Bukalapak menjadi unicorn teknologi pertama di Indonesia yang akan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Walaupun memang proyeksi profitabilitasnya saat ini belum terlihat.
Dalam rencana IPO ini Bukalapak menargetkan bisa meraup dana segar sekitar US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 21,7 triliun (asumsi kurs Rp 14.500). Saham Bukalapak sendiri akan mulai diperdagangkan pada 6 Agustus 2021.
Dalam wawancara dengan Forbes Asia, CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menceritakan awal 2020 merupakan tahun yang penuh tantangan.
Dia dipilih oleh investor untuk membawa Bukalapak agar bisa mencetak keuntungan dan menghapus stigma 'bakar uang' jika ingin besar.
Namun dua bulan awal 2020, pandemi mulai menyebar ke seluruh Indonesia. "Sebagian besar rekan saya menilai, pandemi COVID-19 ini adalah krisis pertama yang harus dihadapi ketika mereka dewasa," kata dia dikutip dari forbes.com, Sabtu (24/7/2021).
Sebagian besar pegawai Bukalapak belum lahir saat krisis keuangan Asia tahun 1997 dan belum juga belum pernah menghadapi krisis keuangan global tahun 2008. Sehingga praktis hanya sedikit karyawan Bukalapak yang berpengalaman menghadapi krisis seperti yang terjadi saat ini.
"Kami sudah melihat siklus seperti ini sebelumnya, memang buruk tapi selama kami bertahan ini akan berlalu," jelas dia.
Pandemi memang membuat masyarakat dibatasi mobilitasnya. Karena itu Bukalapak disebut sudah berada di jalur yang benar.
Karena pasar online terus berkembang dan selama pembatasan ini banyak pegawai yang harus bekerja dari rumah.
Di sisi lain Presiden Direktur Emtek (grup pemegang saham terbesar Bukalapak) Alvin Sariaatmadja mengaku kaget dengan momentum dan minat investor domestik dan luar negeri.
Dia mengharapkan Bukalapak bisa menjadi leader untuk penjualan saham ke depannya. Saat ini investor yang ada di Bukalapak antara lain Singapura GIC, Grup Ant China, Microsoft, Standard Chartered dan Naver Corporation.
Tahun lalu pendapatan Bukalapak melonjak 25,5% menjadi Rp 1,35 triliun lebih besar dibanding 2019 Rp 1,07 triliun. Bahkan angka ini juga lebih besar dibanding 2018 yang hanya Rp 292 miliar.
Meski masih ada kerugian, namun berpotensi menurun ke depan. Dari laporan keuangan Bukalapak masih mencatat kerugian Rp 1,3 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan kerugian pada 2019 yang mencapai Rp 2,8 triliun dan 2018 rugi Rp 2,2 triliun. Kerugian ini terjadi untuk biaya penjualan dan promosi yang signifikan untuk menarik pengguna masuk ke dalam pasarnya.
Kemudian transaksi tercatat Rp 85,08 triliun, naik dibandingkan posisi 2019 sebesar Rp 57,39 triliun dan Rp 28,34 triliun pada 2018. EBITDA Bukalapak sudah mulai membaik berada di kisaran Rp 1 triliun. Pada 2020, EBITDA Bukalapak minus Rp 1,67 triliun, pada 2019 minus Rp 2,68 triliun, dan 2018 minus Rp 2,22 triliun.
Dana segar yang ditargetkan dari IPO adalah sebesar Rp 21,9 triliun. Nantinya dana tersebut akan digunakan untuk modal kerja perusahaan dan entitas anak. Sebagai perusahaan berbasis teknologi, Bukalapak akan terus melakukan inovasi tidak hanya di layanan online, tapi juga offline.(dtf)