Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PROGRAM pembatasan mobilitas dan operasional masyarakat secara resmi diperpanjang oleh pemerintah pusat, dengan beberapa penyesuaian yang berlaku hingga 9 Agustus mendatang, Kota Medan menjadi salah satu daerah yang masih harus menerapkan PPKM level 4.
Kota Medan yang sebelumnya hanya mencatat rata-rata 40-60 kasus positif per hari. Mengalami peningkatan tajam hingga 200- 600 kasus per hari. Data per 3 Agustus 2021, jumlah pasien positif mencapai 24.904 orang, dengan kesembuhan 29.955 orang dan kematian 690 orang.
Sehingga pembatasan mobilitas dan operasional melalui PPKM level 4 sebagai tindaklanjut dari penanganan Pandemi Covid 19 menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, walaupun 16 bulan masa pandemi telah melahirkan krisis multidimensi di tengah masyarakat.
Selain darurat kesehatan yang ter-update setiap hari, darurat sosial-ekonomi juga telah menyentuh kehidupan masyarakat. Data BPS Kota Medan pada Agustus 2020 menunjukkan tingkat pengangguran 10,74% dari 2,43 Juta jumlah penduduk Medan.
Sedangkan data BPS Provinsi Sumatera Utara pada September 2020, menunjukkan meningkatnya jumlah penduduk miskin sejak awal pandemi pada Maret 2020 di angka 1,35 juta jiwa atau 9,14 % dari jumlah penduduk.
Dengan kenaikan kemiskinan wilayah perkotaan sebanyak 60,5 ribu jiwa atau 9,25 %, sedangkan di pedesaan naik sebanyak 12,9 ribu jiwa atau 9,02 %, hanya dalam waktu 6 bulan pandemi Covid-19. Selama 16 bulan pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pembatasan dan pengetatan mobilitas di hampir semua sektor, hingga program vaksinasi yang sedang berjalan, namun terlihat belum optimal dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai imbas dari berbagai kebijakan tersebut.
Walaupun Presiden Joko Widodo telah mendorong bantuan sosial bagi masyarakat yang bersumber dari APBN dan APBD untuk penanganan dampak dari berbagai kebijakan pembatasan, namun penerapannya di lapangan justru menjadi keluhan, terutama oleh masyarakat yang bergerak di sektor informal, seperti pasar tradisional, trasportasi, warung, PKL, pekerja toko dan pariwisata yang terdampak langsung. Masyarakat di sektor informal yang mengandalkan penghasilan harian dan terdampak langsung oleh pembatasan dan pengetatan mobilitas, adalah golongan yang dominan harus menurunkan hingga menutup operasional usahanya, dan akhirnya kehilangan sumber penghasilan, sebagai gantungan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Efektifitas Pengawasan Bantuan
Dalam setiap kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat yang diumumkan oleh lresiden, selalu diikuti dengan kebijakan percepatan dan perluasan program bantuan sosial, termasuk PPKM level 4 yang menyiapkan dana mencapai Rp 55 triliun.
BACA JUGA: Beratnya Beban Dampak PPKM Darurat
Dengan target penerima bantuan sosial tunai (BST) sebanyak 10 juta penerima, bantuan pangan nontunai (BPNT) sebanyak 18,8 juta, program keluarga harapan (PKH) sebanyak 10 juta, hingga untuk kebutuhan subsidi listrik, bantuan kuota bagi siswa, bantuan sembako dan lainnya.
Namun belajar dari banyak peristiwa bencana dan penanganan pandemi sebelumnya, sangat diperlukan efektivitas pengawasan bantuan untuk melahirkan proses yang transparan dan akuntabel, karena kerawanan penyaluran dana bansos masuk dalam praktik kecurangan dan penggelapan.
Dengan mekanisme secanggih apapun, sejatinya jika pengawasan dan monitoring tidak dilaksanakan dengan ekstra ketat, maka kemungkinan penyelewengan dan penggelapan akan sangat berpotensi terjadi.
Seperti peristiwa kunjungan Menteri Sosial di Kelurahan Sendangharjo, Kecamatan Tuban, dimana masyarakat hanya menerima bantuan sosial dua bulan, dari tiga bulan yang telah diberikan pihak Kementerian. Mirisnya hal ini diketahui oleh kepala daerah
Belum lagi maraknya kasus penyunatan nilai bansos tunai (BST) yang dilakukan oleh pihak oknum aparatur pemerintah atau instasi berwenang, dengan istilah uang jasa pengurusan, potongan rekening atau uang kopi. Disinilah sejatinya pertaruhan integritas dan moralitas para penegak hukum serta jajaran pemerintahan hingga kelevel terbawah. Di tengah tertekannya ekonomi masyarakat ke titik darurat, maka meningkatkan kepercayaan masyarakat menjadi penting, melalui laporan pengawasan, pemanfaatan dan penyaluran bansos yang sangat transparan.
Jika memungkinkan, infrastruktur negara seperti, Polri, kejaksaan, BPKP, KPK dan lainnya, dapat mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, dengan membuka saluran atau kanal pengaduan praktik penyimpangan dalam penyaluran bantuan sosial hingga ke level bawah yang bertindak cepat dan terukur, serta melakukan update perkembangan tindakan hasil laporan masyarakat.
Mengembalikan kepercayaan masyarakat sangtlah penting, ditengah situasi sosial-ekonomi masyarakat yang sudah sangat berbeda jika dibandingkan ketika pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB di awal masuknya covid-19.
Pada saat PSBB masyarakat mungkin masih punya tabungan dan berfikir situasi ini tidak akan lama, sehingga praktik gotong royong, saling bantu melalui pembagian sembako secara swadaya banyak ditemukan hingga ke pelosok Kota Medan.
Tetapi pandemi selama 16 bulan, telah menggerus daya tahan ekonomi masyarakat, apalagi belum diketahui kapan pandemi ini akan berakhir, maka akuntabilitas dan akurasi ketepatan sasaran penerima bantuan mungkin akan membantu daya tahan masyarakat untuk keberlangsungan hidupnya.
Dari data BPS Sumatera Utara Maret-September 2020 saja, sudah terlihat dampak dari pandemi yang menaikkan angka kemiskinan, belum terhitung hingga ke Juli 2021 berapa sektor usaha yang bangkrut dan kolaps, termasuk jumlah korban PHK.
Peran Kepala Daerah
Persoalan yang sering mengemuka dalam program bantuan pemerintah adalah berapa banyak masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 telah terjangkau dan sudah akuratkah up-date data dengan situasi terakhir?
Belajar dari kunjungan Menteri Sosial di Tuban, setiap kepala daerah sudah seharusnya mengambil peran kepemimpinan yang mumpuni dalam pengetatan pengawasan, penanganan, sosialiasi-edukasi dan pendistribusian bantuan sosial bagi masyarakat.
Kepemimpinan dalam penguatan edukasi dan sosialisasi, serta strategi komunikasi budaya yang tepat, terutama akibat polarisasi di masyarakat yang percaya dan tidak, adanya virus Covid 19, yang percaya dan tidak percaya pada proses vaksinasi.
Polarisasi yang diakibatkan oleh maraknya pro dan kontra di media sosial, forum diskusi dan kegiatan lainnya yang tidak terkontrol, serta kampanye negatif yang dilakukan oleh beberapa pihak dengan berbagai motif di belakangnya.
Maka alangkah baiknya kepala daerah melibatkan para sosiolog, pakar komunikasi publik, budayawan, relawan kemanusiaan dan agamawan untuk merumuskan langkah atau strategi komunikasi, sekaligus menjadi juru edukasi pemerintah kepada masyarakat.
Kemudian mendorong pendekatan humanis saat penertiban para pedagang, PKL dan lainnya, dengan melakukan pendataan di tempat berbagai sektor usaha, pedagang dan pekerjanya, sekaligus memberikan langsung bantuan sembako dan tunai untuk mencukupi kebutuhan hidup selama masa pembatasan diberlakukan.
Dan yang terakhir adalah memastikan ketersediaan dan percepatan vaksinasi, dengan mendorong infrastruktur kesehatan dan kepala lingkungan untuk mendata dan mensosialisasikan pentingnya vaksinasi dari rumah ke rumah.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]