Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Perusahaan raksasa properti China, Evergrande, berkembang sangat pesat sehingga melebar ke berbagai sektor mulai dari klub sepakbola, susu formula bayi, hingga mobil listrik.
Sekarang, Evergrande sedang ditangani oleh penasehat dari luar yang bertugas mengatasi utang sebesar dari $400 miliar (sekitar Rp4 ribu triliun).
Sebagai salah satu pengembang real estate terbesar, perusahaan ini mengklaim memiliki lebih dari "1.300 proyek di 280 kota di China dan merupakan pelopor penyediaan rumah dengan dekorasi yang bagus".
Sektor properti di negara itu masih booming sampai tahun ini.
Permintaan real estate di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, Shenzhen, dan Guangzhou telah mendongkrak harga properti menjadi salah satu yang termahal di dunia.
Evergrande mengambil pinjaman demi pinjaman untuk memenuhi permintaan tersebut.
Tapi kemudian terjadi penurunan harga properti di kota-kota kecil disusul oleh berbagai tindakan pemerintah setempat yang ditujukan untuk membatasi pinjaman berlebihan di sektor real estate.
Para ekonom menyatakan potensi keruntuhan perusahaan itu "merupakan ujian terbesar yang dihadapi sistem keuangan China selama ini."
Setelah itu, ribuan investor, pemasok, dan karyawan Evergrande telah berharap agar pemerintah turun tangan membantu mendapatkan kembali uang mereka dari perusahaan ini.
Sampai sekarang, Beijing tetap menolak tegas langkah semacam itu.
Tiga garis merah
Kemelut keuangan Evergrande bermula ketika Beijing menerapkan aturan ketat atas industri real estate pada bulan Agustus lalu.
Dikenal sebagai batas 'Tiga Garis Merah', aturan tersebut bertujuan untuk mengekang utang dan membuat sektor real estate lebih terjangkau bagi warga China pada umumnya.
"Kebijakan ini memaksa perusahaan untuk menawarkan diskon lebih besar pada properti demi menjaga arus kas mereka," jelas Mark Williams, kepala ekonom Capital Economics Asia.
Evergrande dikabarkan tidak mampu lagi melakukan pembayaran bunga pinjamannya.
Sejauh ini, pemimpin China di Beijing tampaknya enggan untuk menyelamatkan perusahaan itu, mengakibatkan ribuan orang mengalami kerugian dan sebagian hancur secara finansial.
"Hidup saya sudah hancur," ujar seorang karyawan kepada ABC di luar markas Evergrande di Shenzhen minggu lalu.
"Perusahaan kami nyaris bangkrut, tidak mungkin lagi bisa terus beroperasi," tambahnya.
Dia menolak menyebutkan namanya, tetapi mengaku sebagai bagian dari karyawan yang menuntut perusahaan mengembalikan uang yang mereka investasikan dalam produk manajemen keuangan.
"Perusahaan berutang lebih dari $1 juta kepada kami," ujar wanita itu sebelum petugas keamanan Evergrande menghentikan wawancara.
Video tentang aksi protes karyawan Eevergrande pada awal bulan ini. Laporan media menyebutkan perusahaan meminta 80 persen karyawannya menginvestasikan uang mereka ke Evergrande di saat krisis mulai meningkat.
Karyawan hanyalah salah satu dari kelompok yang dirugikan dalam keruntuhan yang dapat menyebar ke sektor lain perekonomian terbesar kedua di dunia ini.
Dan pada gilirannya akan menurunkan permintaan ekspor sumber daya alam dari negara lain seperti Australia. dtc