Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
WABAH Covid-19 telah mengakibatkan ekonomi Indonesia tumbuh negatif selama empat kuartal sejak kuartal II-2020. Namun, pada kuartal II 2021, Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan. Ekonomi Indonesia kuartal II 2021 mampu tumbuh sebesar 7,07 persen (YoY). Beberapa pembentuk produk domestik bruto (PDB) secara perlahan tapi pasti mulai mampu bergerak positif.BPS RI, 2021).
Dampak besar Covid-19 bukan hanya mempengaruhi negara berkembang, tapi mempengaruhi negara-negara maju di seluruh dunia. Bahkan sebagian dari negara-negara maju terperangkap dalam resesi ekonomi.
Banyak perubahan struktur ekonomi global, yang membuat produksi dunia menjadi sangat terganggu, terputus karena hampir semua negara menerapkan kebijakan lockdown untuk menahan laju penyebaran Covid-19. Terjadinya gangguan suplai atau produksi ini menjalar ke sisi permintaan, yang membuat serapan daya konsumsi sangat turun signifikan. Arus investasi pun merosot dan perdagangan dunia juga ikut terhambat.
Upaya sistematis pemerintah dalam menjaga stabilitas pembangunan secara kolektif ini pun mulai terjadi pada kuartal II 2021, dimana komponen ekspor sektor barang dan jasa tumbuh signifikan, sebesar 31,78 persen (YoY). Peningkatan itu terjadi seiring melonjaknya jumlah permintaan barang ekspor nonmigas (hasil pertanian dan pengolahan / manufaktur) dipicu karena semakin membaiknya ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Komponen ekspor barang dan jasa menjadi sumber pertumbuhan PDB yang efektif dalam kuartal ini yakni sebesar 5,81 persen (YoY) dengan kontribusi terhadap PDB setara 20,31 persen. Sementara komponen impor barang dan jasa mampu tumbuh tinggi sebesar 31,22 persen (YoY) dan menjadi sumber pertumbuhan PDB sebesar 4,83 persen.
Terjadinya kenaikan impor kuartal II sejatinya tak perlu dikhawatirkan karena mayoritas komponen impor merupakan bahan baku dan barang modal. Adanya kenaikan ini pun mengindikasikan kembali terjadinya laju kenaikan permintaan dari industri manufaktur.
Penataan Struktural
Secara analisis, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya mampu tercipta jika Indonesia melakukan transformasi struktural. Struktur ekonomi Indonesia yang selama ini tidak seimbang (imbalance) wajib untuk ditata kembali agar dapat lebih seimbang.Kebijakan Impor yang lebih besar dari ekspor perlu ditata kembali agar ekspor lebih besar daripada impor.
Meski sumber daya alam masih besar. Namun, pengembangan industrialisasi harus segera dipercepat. Ekspor dari produk primer perlu beralih ke ekspor produk olahan hasil produksi industri dalam negeri supaya nilai tambah produk dapat menjadi lebih besar.
Dalam menjaga neraca perdagangan tetap positif, Indonesia harus terus berbenah membangun keseimbangan struktural dari arah industri dalam negeri. Mulai dari industri pengolahan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, hingga migas dan pertambangan.
Di sisi lain, ketidakseimbangan yang terjadi antar wilayah Indonesia juga perlu segera dikurangi. Upaya pembangunan ekonomi yang selama ini menumpuk di pulau Jawa harus mulai diperluas ke luar Jawa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Desember 2020 kontribusi Jawa terhadap PDB mencapai 58,7% dan jika ditambah Sumatera, sekitar 80,1%. Sementara untuk kawasan pulau besar yakni, Kalimantan dan Papua memiliki PDB kecil, yakni 7,9% dan 2,3%.
Hal ini membuat pembangunan ekonomi negara menjadi tak seimbang. (BPS RI, 2020). Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor paling terdampak karena penurunan konsumsi masyarakat. Seiring dengan penurunan pendapatan, penurunan omzet, kendala keuangan, dan kegiatan operasional yang berkurang. Hingga akhirnya terjadi pengurangan karyawan alias pemutusan hubungan kerja (PHK).
Usaha Masyarakat
UMKM merupakan motor ekonomi Indonesia. Kontribusinya mencapai 57,24 persen dari total PDB (produk domestik bruto) nasional. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) menunjukkan, 99,99 persen dari total pelaku usaha atau sekitar 64 juta pelaku usaha adalah UMKM.
Penyerapan tenaga kerja UMKM besar, mencapai 117 juta orang atau 97 persen dari total tenaga kerja.Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka Otoritas Jasa Keungan (OJK) mengeluarkan sejumlah kebijakan preemtif. Yakni, melalui POJK No 11 dan 48 Tahun 2020. OJK juga mendorong pengembangan UMKM dari hulu ke hilir terintegrasi dalam satu ekosistem digital.
Demi penyelamatan UMKM selama masa wabah Covid-19,pemerintah juga sudah memberikan bantuan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp. 114,81 triliun yang meliputi subsidi bunga Rp. 13,43 triliun dan penempatan dana yang digabung penempatan dana korporasi Rp. 66,99 triliun.
Pemerintah juga memberikan penjaminan kredit UMKM Rp.3.2 triliun, PPh Finalisasi UMKM DTP (pajak yang ditanggung pemerintah) sebesar Rp.1,08 triliun, pembiayaan investasi Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LPDB KUMKM) Rp.1,29 triliun, serta Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM) Rp. 28,81 triliun. Total ada sebesar Rp.95,25 triliun atau 83 persen dari pagu anggaran PEN telah dikeluarkan pemerintah untuk memulihkan UMKM ditengah pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Modernitas Ekonomi akibat Pandemi
Namun, stimulus dari pemerintah ini sepertinya belum menunjukkan hasil yang maksimal. Karena faktanya kondisi UMKM pada masa pandemi sekarang ini masih sangat rentan apalagi ditambah pembatasan sosial, nasib UMKM jelas sangat memprihatinkan.
Dampak dari kebijakan ini dipastikan akan membuat jutaan UMKM mengalami kelumpuhan bahkan bangkrut. Berkaca situasi krisis moneter yang terjadi pada 1998 dan krisis keuangan global pada 2008, saat perusahaan skala besar tumbang, UMKM mampu tampil sebagai penyelamat dan penopang perekonomian nasional.
Selama masa wabah pandemi Covid-19, UMKM praktis tak memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi saat normal, di mana UMKM menyumbang 60% Produk Domestik Bruto (PDB) secara nasional dan pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari konsumsi rumah tangga dominan digerakkan pada sektor ini.Termasuk sumbangsihnya terhadap penyerapan tenaga kerja yang mencapai 96% dari 133 juta angkatan kerja nasional serta menyumbang 14% dari total ekspor.
Jika wabah pandemi Covid-19 masih berkepanjangan, UMKM Indonesia jelas berada dalam titik suram. Dampaknya jelas yakni kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi.
Menyikapi ini, pelaku UMKM Indonesia harus jeli membangun sebanyak mungkin ide kreatif menjaga ketahanan usahanya ditengah pandemi. Proyeksi usaha setiap pelaku UMKM mau tak mau harus menyesuaikan langkah taktis yang tak melanggar aturan protokol kesehatan dan peluang ekonomi yang sangat tak menentu.
Menjaga strategi bisnis menjadi kata kunci yang penting dalam meningkatkan strategi ketahanan penjualan usaha ditengah Covid-19. Dalam konteks ini dibutuhkan sebuah analisis komprehensif untuk membaca peluang perusahaan dan membuat strategi terukur untuk melakukan adaptasi pasar melalui akuisisi, aliansi, kerjasama produk (joinventure), dan berbagai langkah produktif lainnya sebagai pengembangan strategi usahanya.
====
Penulis Analis dan Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]