Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Nisel. Masyarakat Nias senusantara digegerkan dengan pernyataan seorang pria pemilik akun FB Condrat Sinaga. Dalam videonya yang diunggah pada Minggu (17/10/2021) itu, lelaki yang mengaku tinggal di Inggris ini tiba-tiba menyinggung budaya Nias, pertama terkait tari perang, kedua soal tradisi pernikahan. Menurutnya, tari perang rentan intervensi iblis.
"Budaya Nias ini juga sangat rentang terhadap masuknya intervensi iblis, termasuk tari perang. Dia menari aja udah perang gitu loh, apalagi yang lain gitu. Menari itu harusnya indah yah, asyik begitu menikmati tari tari perang," kata Condrat dalam videonya itu.
Apakah benar tari perang tersebut rentang terhadap masuknya intervensi iblis? Bagaimana sebenarnya sejarah tari perang dan makna di balik budaya yang sampai sekarang masih lestari di masyarakat Nias tersebut?
Salah satu tokoh adat Bawomataluo, yang juga merupakan tokoh adat Nias Selatan, Mowa'a Wau, menyebut pernyataan Condrat Sinaga itu merupakan penghinaan terhadap budaya dan adat Nias, penghinaan seni tari perang yang ada di Nias.
Mowa'a Wau menjelaskan, perebutan wilayah di Kepulauan Nias itu diraih lewat perang. Sebagai hiburan, maka masyarakat melakukan kreasi melakukan tari perang sebagai tontotan. Tidak ada unsur kerasukan atau masuknya iblis saat seseorang menampilkan tari perang.
BACA JUGA: Budaya Nias Dihina Condrat Sinaga, Begini Kata Ketua Forkada Sekepulauan Nias
"Untuk Anda Condrat Sinaga, untuk Anda tahu tentang masalah tari perang yang dinyatakan bahwa dirasuk oleh iblis, supaya tahu tari perang muncul di Kepulauan Nias, daerah barat wilayah Balugu diraih melalui perang. Daerah selatan wilayah Si'ulu diraih melalui perang, dan semua di Kepualaun Nias ini, maka bagi desa yang meraih kemenangan membuat kreasi baru di mana tari perang itu dijadikan sebagai tontonan dan penghiburan, bukan dirasuki oleh setan," papar Mowa'a Wau di halaman Desa Bawomataluo, yang didampingi beberap tokoh adat lainnya, Selasa (19/10/2021).
Menurut Mowa'a Wau, bila Condrat Sinaga tidak mengerti, tidak memiliki seni budaya seperti tari perang Nias, maka itu adalah urusannya.
Kepala Desa Bawomataluo, yang juga merupakan keturunan raja/bangsawan, Teruna Wau, menyebut bahwa pernyataan Condrat Sinaga ini tidaklah berdasar. "Sejarah tari perang yang selama ini dilakukan dalam setiap acara adat istiadat di masyarakat Nias, baik acara kematian, perkawinan, terkhusus mengenai bangsawan itu dilakukan upacara sakral yang diwarisi dari leluhur kita," katanya.
Teruna Wau mengatakan, tari perang dalam sejarah terbentuk karena adanya peperangan dalam memperebutkan suatu wilayah antar desa maupun Öri. Hal yang sama baik di Nias maupun di daerah lain, seperti Dayak, Buton, Aceh maupun Batak, memiliki sejarahnya masing-masing.
Lebih lanjut, dia membeberkan bahwa Nias pada jajahan Belanda tidak ada bedanya dengan daerah lain, di mana saat itu Nias tidak mengakui tentang Pemerintahan Kolonial Belanda. "Kalau dia tidak tau sejarah, tanya sama orang sama tuamu maupun kakekmu (Condrat Sinaga)," ujarnya.
Teruna Wau menceritakan bahwa pada masa penjajahan Belanda, Raja/Si'ulu Lahe Lu'u yang merupakan kakek buyut Teruna Wau ini, pernah ditawan/ditahan oleh Kolonial Belanda di Gunungsitoli selama 3 bulan karena tidak menandatangani pengakuan Pemerintahan Kolonial Belanda.
Tari perang yang dilengkapi dengan perisai, tombak dan pedang itu, pernah dilakukan saat melawan Belanda yang dikenal dengan perang Saonigeho di Teluk Dalam Nias Selatan serta perebutan meriam dari tentara Belanda di Hilifondrege'asi (saat ini meriam itu dipajang di halaman Balai Desa Bawomataluo).
Dia menilai apa yang disampaikan Condrat Sinaga merupakan pernyataan orang yang tidak terdidik dan tidak tahu adat. Baik Teruna Wau, Mowa'a Wau dan sejumlah tokoh adat lainnya meminta kepada Kapolri agar Condrat Sinaga ditangkap dan diadili secara hukum.
Seperti diketahui, akun facebook Condrat Sinaga dalam videonya bicara resep penyelesaian kasus penganiayaan terhadap Litiwari Iman Gea, pedagang sayur Pajak Gambir oleh preman. Menurutnya, kasus itu hanya dapat diselesaikan secara holistik oleh Wali Kota Medan, Bobby Nasution.
Namun, dalam video itu ia menyinggung suku Nias. Kata Condrat, budaya tradisonal Nias, seperti tari perang rentan intervensi iblis. "Dia menari saja sudah ada perang, apalagi yang lain," kata Condrat.
Kata Condrat lagi, di Nias juga masih berlaku hukum yang menghormati orang tua. Yang memberikan sesuatu yang terbesar kepada orang tua. Ketika anak laki-laki menikah, istrinya, perawannya harus diberikan kepada bapaknya. "Itu mengerikan," ujarnya.
Kasus dugaan penghinaan terhadap adat Nias ini sudah dilaporkan ke Polres Nias.