Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Pekanbaru. Dr Afni Zulkifli, dosen Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, Riau menuding Greenpeace telah melakukan kamuflase informasi terkait angka deforestasi Indonesia. Melalui pernyataan pers yang dimuat banyak media di tanah air, Greenpeace menuding seolah apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo di KTT perubahan iklim (COP26) di Glasgow tidak benar.
"Greenpeace mengatakan deforestasi di Indonesia meningkat dari sebelumnya 2,45 juta hektare (2003-2011) menjadi 4,8 juta hektare (2011-2019). Tapi LSM terkemuka di dunia itu tak menjelaskan dengan detail di era pemerintahan siapa sesungguhnya deforestasi jor-joran terjadi, dia melakukan kamuflase informasi mencomot data sesuai kepentingannya sendiri," tulis Afni yang tengah mengikuti COP di Glasgow, Skotlandia dalam pernyataan yang diterima detikcom, Rabu malam (3/11/2021).
Afni yang menulis disertasi doktoral bertajuk ''Kepemimpinan Transglobal untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau'' itu memaparkan bahwa deforestasi di Indonesia yang terjadi pada 2003-2011 seluas 2,45 juta ha, 2011-2012 seluas 613,5 ribu ha, 2012-2013 seluas 728 ribu ha, 2013-2014 seluas 397,4 ribu ha, dan pada 2014-2015 melonjak seluas 1.092.000 ha.
"Itu semua terjadi di masa pemerintahan sebelum Jokowi. Izin jor-joran dikasih beberapa saat sebelum beralih ke pemerintahan Jokowi. Izin diberikan di lahan gambut, hutan seketika beralih fungsi, bahkan pada praktek lapangan, banyak izin diduga menyasar sampai ke kawasan hutan. Izin-izin ini diantaranya bahkan keluar dalam hitungan beberapa hari sebelum periode pemerintahan berganti ke Jokowi yang dilantik pada Oktober 2014," beber Afni yang meraih doktor dari Universitas Pasundan, Bandung itu.
Periode pemerintahan sebelum Jokowi, mantan Pemimpin Redaksi Pekanbaru Pos itu melanjutkan, meninggalkan 'warisan kebijakan' dengan keluarnya izin prinsip di beberapa titik kawasan hutan. Kebijakan tersebut mau tidak mau secara prosedural administratif hak pemohon untuk mendapatkan izin harus diselesaikan. Bila dibatalkan, hal itu sama artinya terjadi kesewenang-wenangan oleh pemerintahan yang baru.
Akibat obral perizinan, terjadi kebakaran hutan dan lahan pada awal 2015. Bencana asap melanda selama berbulan-bulan lamanya. Negara tetangga, Malaysia dan Singapura, ikut teriak mendapatkan kiriman asap. "Indonesia saat itu babak belur, malu sekaligus dipermalukan," tulis Afni.
Dari kejadian itulah pemerintahan Jokowi melakukan koreksi kebijakan dan koreksi aksi di lapangan secara beriringan. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi langsung mengevaluasi seluruh izin sektor kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak lagi memberikan izin di hutan primer, tidak ada lagi yang boleh main-main di kubah gambut. Sesuai komitmen dan perintah Presiden Jokowi, gambut harus terjaga basah, kalo ada api jangan ditunggu besar, pemadaman di belakang pencegahan di depan, kerja kolektif mewajibkan semua 'pegang selang'.
"Hukum lingkungan juga harus tajam juga ke atas, dibuktikan dengan pertama kali korporasi yang lalai mengurus karhutla diseret secara pidana ataupun perdata," tulis Afni.(dtc)