Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KETIKA melihat nama Lasro Marbun sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta di masa Ahok, respon saya setengah terkejut dan seperti tak percaya. Orang Batak menjadi orang nomor satu untuk mengurusi pendidikan di Kota Jakarta, itu luar biasa. Sebagai orang Sumatra Utara dan bermarga, saya salut benar. Apalagi ketika saya melihat latar keluarganya sewaktu kecil, saya semakin tertantang dan terinspirasi.
Saya tak mengenal Lasro Marbun. Saya pun belum pernah berjumpa dengannya. Maksudnya, saya belum pernah melihatnya secara langsung.
Namun, dari penjajakan saya melalui berbagai bacaan, saya tahu beliau orang miskin. Arti orang miskin di sini tentu mungkin dalam arti melarat. Namun, satu yang pasti, Bapak Lasro Marbun bukan dari perkotaan dan bukan pula dari orang kaya raya. Dari sumber bacaan justru disebut bahwa beliau merantau ke Jakarta karena kemiskinan.
Tetapi, justru dari sana kita belajar satu hal, yaitu bahwa di balik kemiskinan, ada harta tak ternilai, yaitu kegigihan. Kegigihan yang tangguh sehingga tidak mudah goyah ketika mengalami berbagai tantangan kehidupan.
Terus terang, saya selalu melihat orang dengan terbalik. Saat ini, saya menjadi guru sekaligus membuka sanggar di kampung halaman saya, Doloksanggul, Humbang Hasundutan. Anak sanggar saya dominan adalah siswa.
Kami sudah beberapa kali melakukan pertunjukan. Mulai dari yang dibayar hingga malah saya yang membayar. Satu kalimat yang selalu saya berikan kepada siswa dan anak sanggar kami adalah pentingnya sebuah usaha dan ketekunan yang ulet, berkelanjutan. Bahasa langsungnya: ada karakter gigih. Mental inilah yang seharusnya dimiliki anak muda. Karena itu, kepada para siswa, saya selaku mengajak mereka untuk melihat dari posisi terbalik.
Saat ini, Lasro Marbun sudah sangat sukses. Namun, kesuksesan itu bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Beliau pasti sudah mengalami jatuh bangun. Jangan-jangan mungkin pernah tak makan tak minum. Dan, jatuh bangun inilah yang menempahnya menjadi manusia yang tangguh. Leluhur kita berkata: pelaut yang tangguh lahir dari banyaknya ancaman ombak. Namun, ombak itu justru berita baik bagi kita. Hanya dengan tantangan ombak kita menjadi gigih, bukan?
Rasanya, ketangguhan itulah yang membuat Lasro Marbun diterima di mana-mana dengan jabatan strategis. Pernah ke Humbang Hasundutan di kampung kami. Kini, menjadi orang penting di Sumatra Utara. Malah, jika mengekor pada pengakuan Gubernur Edy Rahmayadi, Lasro Marbun mungkin sudah akan menjadi orang nomor 3 di Sumatra Utara. Dan, melihat dari berbagai media, itulah yang membuat Lasro Marbun bangga: berprestasi meski dari kampung.
Sekali lagi, saya selalu melihat orang dengan terbalik. Karena itu, saya selalu mengajak siswa dan anak sanggar saya untuk melihat bukan dari ketika masa suksesnya. Saya mengambil contoh tentang Raffi Ahmad. Siapa anak muda yang tak mengenal sosok selebritas ini lagi? Semua orang ingin kaya seperti Raffi Ahmad. Tetapi, banyak dari kita yang melihatnya dari posisinya saat ini, bukan dari ketangguhannya berproses sejak masa lalu.
Padahal, kita seharusnya melihatnya bukan dari posisi saat ini, tetapi bagaimana ia untuk tetap setia berproses: mulai dari figuran, tak dipakai, figuran lagi, gaji kecil, kecil, kecil terus, hingga mulai dikenal. Artinya, kita melihat orang sukses jangan ngiler dari posisi saat ini.
Siapa coba yang tidak mau seperti Jack Ma sekarang ini? Semua kita pasti mau seperti Jack Ma saat ini. Namun, apakah kita semua mau seperti Jack Ma di saat-saat kemiskinannya?
Saya yakin tidak. Betapa tidak? Dari semua pelamar untuk diterima sebagai karyawan KFC, konon hanya Jack Ma yang ditolak. Tetapi, kegigihan yang teruji terbukti tak pernah berhenti. Kegigihan akan berhasil. Itu hanya menunggu waktu dan kesetiaan untuk tetap berproses. Karena itulah, saya selalu yakin bahwa kesuksesan yang diraih dengan mudah tak akan berumur panjang. Ia akan mudah goyah karena belum punya modal dasar, yaitu kegigihan.
Inilah yang saya tanamkan kepada siswa dan anak sanggar kami. Bahwa satu nilai plus orang kampung bukan kepintaran dan akses yang memadai. Satu nilai plus orang kampung adalah kegigihannya berproses dan berproses. Inilah investasi yang tak ternilai.
Sayang, kini, saya melihat kegigihan itu makin rapuh, bahkan dari kampung-kampung sendiri. Entah mengapa ini terjadi. Apakah mungkin karena saat ini semua serba mudah sehingga generasi kita menjadi generasi manja?
Sebab, saya mempunya beberapa siswa yang jenuh berproses untuk lomba menulis hanya karena kalah dua kali, bahkan sekali. Mereka dirasuki budaya instan seakan JK Rowling sukses hanya dengan satu malam. Padahal, JK Rowling sukses dengan penolakan berbagai penerbit. Tidak sekali dua kali ia ditolak. Tetapi, kegigihan membuatnya menjadi panutan. Andai ia rapuh dan depresi karena ditolak, ia menjadi orang biasa: tidak dikenang dan dikenal, dan juga tidak berhasil.
Saya pun selalu mencontohkan diri sendiri. Saya suka menulis. Mulai sejak kuliah. Tahun 2010 saya mencoba untuk menulis di Kompas. Tak satu pun terbit hingga pada tahun 2014. Saya berani jamin, sepanjang 2010 hingga 2014, saya selalu mengirim 1 artikel per minggu ke Kompas. Tetapi, hanya berhasil terbit 1 artikel pada tahun 2014. Sebaliknya, ada teman saya yang sekali mencoba langsung terbit ke koran lokal. Kesuksesan yang mudah.
BACA JUGA: Guru Penggerak dalam Bingkai Meritokrasi
Namun, kesuksesan itu membuatnya menjadi lemah untuk berjuang sehingga ia hanya tahu mengeluh tanpa banyak berjuang. Sekali lagi, saya berhasil terbit ke Kompas pada 2014. Setelah terbit, saya juga harus menunggu sampai tahun 2016. Saya berani jamin dan redaktur Kompas dan Analisa bisa menjadi saksi bahwa minimal 2 artikel per minggu saya kirim ke mereka. Malah cenderung tiap hari. Dan, perlu dicatat, setelah terbit pada 2016, saya juga harus menunggu hingga 2019.
Artinya, mulai 2010 hingga 2019, saya hanya berhasil 3 kali. Gagalnya, jika dihitung dua per minggu adalah 936. Sangat tak sebanding. Namun, kesuksesan hanya soal sampai sebarapa kuat kita untuk tetap setia berproses.
Saya contohkan misalnya diri saya. Kini, mulai tahun 2021 hingga 2022, boleh dikatakan saya naik ke Kompas sudah sekali sebulan. Orang akan berkata bahwa ini karena bakat. Tetapi, bakat apa ini jika harus diolah sejak tahun 2010 hingga tahun 2020?
Maksud saya, ini bukan soal bakat tak bakat. Ini soal kegigihan. Dalam rumus yang sama, saya pikir, keberhasilan pun hanyalah soal bagaimana kita tetap gigih berproses.
Pada akhirnya, saya mau bilang, Pak Lasro Marbun pantas menjadi teladan bagi orang-orang kampung untuk tetap gigih dan ulet. Kegigihan ini adalah investasi yang luar biasa untuk bisa membuat kita kompeten.
Oh, iya, saya sengaja menulis artikel ini di sini sebagai motivasi bagi siswa saya yang kini berjuang untuk terbit tulisannya di harian lokal Sumatera Utara. Sebab, saya tahu, beberapa dari mereka sedang mencoba.
Saya hanya berharap satu hal: semoga mereka mengerti apa arti sebuah kegigihan dengan membaca artikel singkat ini. Sekali lagi, kesuksesan hanya soal seberapa gigih kita untuk tetap berproses. Semangat!
====
Penulis Calon Guru Penggerak dari SMA Negeri 1 Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbd@medanbisnisdaily.com