Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ADA sebuah ilustrasi untuk menggambarkan pendidikan. Konon, di sebuah hutan, majelis hewan berencana membuat sekolah pada anak-anak hewan. Semua anak-anak hewan antusias atas ide itu. Saya akan berlari, kata anak harimau dengan sangat ceria. Saya akan berenang, ujar anak bebek. Saya akan melompat dari kayu ke kayu, anak monyet tak mau kelewatan. Saya akan terbang, seru anak elang. Saya akan melilit, sebut anak ular.
Semua anak hewan terlihat sangat antusias untuk belajar. Bagi mereka, bersekolah berarti mengembangkan bakat alami. Dan, akhirnya, terbentuklah sekolah itu.
Namun, pada prosesnya, guru pilihan majelis hewan mulai kewalahan. Peserta didik terlalu amat beragam dengan kesukaan serta kelebihan masing-masing. Guru-guru rupanya merasa tak bisa mengakomodasi semua kelebihan anak-anak hewan tersebut.
Maka, para guru pun mengadakan rapat. Dibuatlah berbagai keputusan untuk mengakomodasi semua bakat itu. Intinya, semua siswa harus terakomodasi dalam persekolahan.
Dibentuklah kurikulum dengan mata pelajaran berlari, berenang, melompat, terbang, melilit sebagai mata pelajaran pokok. Standar-standarnya ditetapkan supaya kualitas dapat diukur. Metode-netode minimal dilatih kepada para guru agar semua siswa mendapat pengetahuan secara berkeadilan.
Intinya, tujuan pembelajaran ini sangat mulia. Semua mata pelajaran ini, misalnya, dilakukan agar anak harimau tidak hanya bisa berlari, tetapi juga terbang; agar anak bebek tidak hanya bisa berenang, tetapi juga berlari; agar anak monyet tidak hanya terampil memanjat, tetapi juga terbang, dan sebagainya, dan sebagainya. Terlihat pendidikan bentukan majelis hewan itu mengakomodasi semua bakat anak-anak. Tetapi, sungguhkah demikian?
Pelaksana Kurikulum
Pada pelajaran hari pertama, yaitu berlari, semula semua antusias, terutama harimau. Namun, lama-lama, anak harimau mulai kebanyakan main-main karena bosan. Baginya, sekolah tidak perlu lama-lama berlari.
Sebaliknya, bebek main-main. Bebek asyik berenang. Guru pun marah. Guru memaksa bebek harus berlari. Karena tujuan pembelajaran, bebek dipaksa harus berlari. Bebek masih belum mencapai standar.
BACA JUGA: Lasro Marbun dan Mimpi Orang Kampung
Karenaitu, untuk KKM, bebek dipaksa untuk terus berlari dan berlari. Bebek kelelahan. Maka, ketika tiba pada mata pelajaran berenang, bebek kehabisan tenaga. Bebek tak mendapatkan nilai maksimal. Malah, hampir tenggelam.
Bebek itu pun mendapat nilai pas-pasan pada mata pelajaran kesukaannya. Demikian juga dengan harimau. Harimau kelelahan belajar terbang, sehingga mendapat nilai pas-pasan pada berlari.
Sesungguhnya, kurang lebih begitulah persekolahan kita. Ilustrasi inilah yang paling tepat menggambarkan mengapa kanak-kanak dulu sangat antusias ke sekolah sebelum akhirnya malas, bahkan trauma.
Sekolah yang sebelumnya bagi mereka adalah tempat bermain dan menyalurkan hobi ternyata berubah menjadi seperti tempat penyiksaan. Ada banyak target yang harus dicapai. Apakah guru salah?
Tentu saja tidak. Guru hanya pelaksana kurikulum. Ibaratnya, guru hanya melaksanakan tugasnya untuk menyanggupi tuntutan kurikulum. Dan, pada dasarnya, guru pun tetap merasa tersiksa serta tak enak hati membelajarkan.
Namun, sebagai guru yang baik, guru tak boleh menyerah pada keadaan. Guru justru harus beradaptasi dan menggunakan keadaan sebagai media belajar yang baru.
Dalam pada posisi demikianlah dibutuhkan kompetensi sosial dan emosional oleh guru. Setidaknya, ada 5 kompetensi sosial emosional yang harus dikuasai guru. Pertama, kesadaran diri. Kompetensi ini untuk bisa belajar di mana posisinya. Jika masih kurang, maka belajar. Jika kejauhan, maka perlu mundur. Kedua, pengelolaan diri. Ini agar guru bisa mengelola diri atau manajemen sehingga bisa tetap fokus.
Ketiga, kesadaran sosial. Ini untuk mengasah kemampuan berempati dari guru, kepada sesama, terutama kepada siswa. Keempat, keterampilan berhubungan sosial. Ini agar guru bisa berbagi peran tidak saja kepada sesama guru, bahkan juga kepada siswa. Dan, terakhir, kompetensi untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Ini agar segala pekerjaan guru dibaca sebagai pengabdian, bukan semata pekerjaan.
Kelima kemampuan tersebut sudah paripurna untuk dimiliki guru. Walau demikian, kemampuan ini tidak hanya milik guru. Justru semua kemampuan ini harus ditularkan kepada siswa. Ini tentu senada dengan mimpi bangsa kita bahwa yang perlu dibangun terlebih dahulu adalah jiwanya, bukan semata pikiran, apalagi fisik. Artinya, kompetensi sosial dan emosional itu juga harus diajarkan kepada siswa sebagai sebuah keterampilan, bukan pengetahuan.
Akomodatif
Tentu, adalah cukup sulit untuk mengajarkannya. Namun, justru untuk itu guru hadir. Guru harus membelajarkan siswa dengan berbagai pendekatan. Semua harus terencana dalam proses pendidikan: rutin, integratif, bahkan protokol. Rutin artinya terjadwal. Integratif artinya menyatu dengan materi belajar. Sementara protokol berarti sudah menjadi kesepakatan sekolah sebagai sebuah aturan induk.
Kesemua ini bermuara agar setiap guru bisa mengakomodasi kecenderungan cara belajar siswa. Sebagaimana diketahui, seperti ditegaskan Bobby de Porter dalam Quantum Teaching, kecenderungan cara belajar siswa memang beragam. Ada siswa yang lebih menangkap dengan cara visual, ada dengan auditorial, bahkan kinestetik. Itu artinya bahwa seorang guru tidak cukup berceramah.
Metode ceramah mungkin sangat menarik bagi tipe auditorial. Namun, akan sangat membosankan bagi siswa dengan kecenderungan belajar visual dan kinestetik. Lagipula, metode ceramah juga tidak akan maksimal bagi pembelajar auditorial. Sebab, meski auditorial murni, bahwa ternyata ia tetap membutuhkan pengetahuan dengan cara visual dan kinestetik untuk mematangkan pengetahuannya.
Artinya, seorang guru harus mengakomodasi semua kecenderungan cara belajar siswa. Malah kemudian, jika harus lebih terperinci, seorang guru harus menerapkan metode pembelajaran diferensial tidak saja dari konten, tetapi juga dalam proses hingga produknya. Dengan metode penghargaan pada perbedaan seperti itu, niscaya siswa akan lebih cepat menangkap materi. Semoga!
====
Penulis Calon Guru Penggerak dari SMA Negeri 1 Doloksanggul, Humbahas.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]