Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BEBERAPA hari yang lalu kita merayakan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Tema tahun ini #breakthebias. Tema ini berlatar belakang pada masih terdapatnya bias pada kaum perempuan. Seringkali kaum hawa mengalami kesulitan di dalam membuat keputusan karena dianggap bertentangan dengan nilai nilai di lingkungannya. Sedangkan, tema yang diusung oleh Indonesia pada peringatan tahun ini adalah #yukbukasuara yang tidak jauh beda maknanya dengan tema yang diusung dunia tadi. Benang merahnya sama, yaitu mengingatkan kita bahwa perempuan pun punya hak untuk bersuara; sekaligus mendorong perempuan untuk tidak takut bersuara. Berbicaralah, meski nilai yang tertanam pada paradigma masyarakat terhadap perempuan, sangat merugikan perempuan.
Berbicara mengenai perempuan, tentu lekat dengan ingatan mengenai RA Kartini yang bulan depan akan kita rayakan hari lahirnya. Mengapa kita perlu mengaitkan RA Kartini dengan tema #breakthebias dan #yukbukasuara?
Kisah Kartini
Kita tahu bahwa RA Kartinilah yang menantang bias sekaligus membuka suara. Kartini berada dalam ekosistem yang sangat bias gender. Perempuan berada dalam posisi nomor 2 dibandingkan laki-laki. Perempuan harus bersedia mengalami tradisi pingit, karena dianggap perempuan harus dipersiapkan untuk pernikahan; bahkan pernikahan yang tidak memerlukan suara perempuan.
Di zaman Kartini, perempuan harus menerima “takdir”, karena seperti itulah yang baik dipandang di zamannya. Kartini adalah lambang sebuah penerimaan norma yang dianggap baik di masyarakat. Perempuan-perempuan dianggap harus tunduk pada kekuasaan yang ditentukan oleh laki-laki. Dan dalam situasi itu, perempuan mana yang berani bicara?
Maka Kartinilah yang menjadi “promotor” perempuan di masa lalu untuk “buka suara”. Memang Kartini tidak memimpin demonstrasi. Ia memilih bersuara melalui surat. Bagi kita mungkin hal seperti itu sederhana. Tetapi tidak jika kita membandingkan dengan perempuan-perempuan yang tidak berani bersuara di zaman itu. Selirih apapun suara perempuan pasti akan mengalami sanksi sosial
yang luar biasa.
Tetapi Kartini menuliskan suaranya. Ia menyadari bahwa apa yang dialaminya adalah sebuah kesalahan dan itu harus dikoreksi. Keterbatasan di zaman itu membuat Kartini mengoreksi sejarah dengan pikiran yang melampaui zaman. Ia berpikir mengenai perempuan-perempuan Indonesia yang maju kelak.
Kartini mengalami sendiri seperti apa bias gender. Ia tidak diizinkan melanjutkan sekolahnya. Ia dikurung di balik dinding. Ia pun menikah di usia yang masih belia dengan sosok pilihan orangtuanya. Tetapi seperti kita bisa baca dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini berani berbicara. Tulisannya memang komunikasi dengan sahabatnya, tetapi gaungnya menggema sampai sekarang.
Kondisi Saat ini
Saat ini perubahan telah banyak terjadi. Banyak pemimpin perempuan hadir di berbagai institusi. Bahkan Presiden RI pun pernah dipimpin perempuan. Namun norma yang menghasilkan bias pada perempuan belum usai. Masih banyak praktik yang menomorduakan perempuan.
Mari kita lihat pandangan orang setiap kali terjadi kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Siapa yang pertama sekali disalahkan? Pasti perempuan. Lalu jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, siapa yang akan dihakimi untuk pertama sekali? Perempuan.
Di era media sosial, perempuan pun mengalami bias yang luar biasa. Di media sosial berseliweran pameran mengenai tubuh perempuan yang seolah menjadi bahan sajian bagi kaum laki-laki. Tubuh yang ideal, dibentuk kepada perempuan. Jika terjadi hal yang berbeda, maka perempuan tersebut akan mengalami objektifikasi, karena dianggap berbeda.
Kasus demikian pernah terjadi seorang atlit perempuan kita. Berprestasi, tetapi karena perempuan yang dianggap tidak ideal tubuhnya, dijadikan cemoohan.
Kungkungan norma-norma seperti ini tidak berbentuk aturan, namun sebuah hal yang hidup dan terus dipelihara oleh manusia sebagai “tubuh yang membawa norma gender”, tulis Butler. Memang, sepanjang peradaban manusia masih ada, sepanjang manusia masih hidup, perlawanan melawan bias tidak akan pernah berhenti.
Maka seharusnya, seperti Kartini, harus tetap bersuara. Perempuan harus tetap bersuara, menyiarkan perlawanan dengan cara yang baik, menyampaikan dan mengoreksi kesalahan. Perempuan-perempuan Indonesia harus membuka ruang untuk menunjukkan diri sebagai sosok yang harus dihargai sebagai manusia, seperti
juga laki-laki. Perempuan harus tetap bersuara!
====
Penulis mahasiswa Prodi Antropologi Sosial FISIP USU.
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]