Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pandemi telah memperlihatkan bahwa terdapat krisis kesehatan endemik seperti tuberkulosis. Di Asia Pasifik, TBC telah membunuh lebih dari 60% lebih banyak jika dibandingkan COVID-19 pada dua tahun terakhir. Selain itu, 60% dari jumlah kasus TBC dunia berasal dari enam negara dengan beban TBC tertinggi.
Situasi ini seakan menjadi ajakan untuk membuat penanggulangan TBC sebagai prioritas. Masyarakat telah melihat secara langsung bahwa pemerintah dan sektor swasta telah bersatu untuk berhasil memerangi COVID-19. Perjuangan serupa akan dibutuhkan untuk memerangi TBC.
Hal itu terungkap dalam sesi kedua pertemuan side event yang bertajuk “Pembiayaan Penanggulangan TBC: Mengatasi Disrupsi COVID-19 dan Membangun Kesiapsiagaan Pandemi Masa Depan” yang dipimpin oleh Staf Khusus Menteri Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Prastuti Soewondo, S.E., M.PH., Ph.D.
Dalam pertemuan tersebut terungkap, para pemimpin dunia diharapkan mampu memobilisasi sumber daya empat kali lipat dari sebelumnya bagi pengobatan dan pencegahan TBC sebesar US$ 9,8 miliar dan penelitian dan pengembangan sebesar US$ 2,4 miliar setiap tahunnya. Hal ini diperlukan karena kesehatan memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.
Pembiayaan penanggulangan TBC memerlukan upaya multisektor dan sistematik untuk investasi yang lebih rasional dan sesuai dengan beban serta dampak epidemi ini terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi. Negara-negara G20 didesak untuk menjalin kemitraan yang efektif dengan semua pemangku kepentingan terkait, termasuk penyintas TBC, anggota parlemen, masyarakat sipil, lembaga teknis dan multilateral, sektor swasta, bank pembangunan, dan filantropi.
Deputy Executive Director Stop TB Partnership, Suvanand Sahu, dalam kesempatan itu memberikan rekomendasi kepada G20 untuk menyadari TBC adalah ancaman kesehatan global dan mengintegrasikan penanggulangan TBC ke dalam kesiapsiagaan dan penanggulangan pandemi. "Negara G20 diharapkan akan menciptakan peluang untuk mendiskusikan lebih lanjut aspek-aspek teknis pendekatan “Airborne Infection Defense Approach” guna mengatasi penyakit menular pernafasan lainnya," jelasnya.
Pulmonologist dan Dewan Stop TB Partnership Indonesia, DR. dr. Erlina Burhan, MSc, Sp.P(K), mengatakan, untuk mencegah pandemi di masa akan datang, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan pengelolaan kesehatan masyarakat yang ketat serta meningkatkan pola hidup bersih dan sehat, meningkatkan infrastruktur kesehatan dan surveilans untuk memprediksi pandemi lainnya, industri farmasi perlu fokus memunculkan inovasi yang kompetitif, penelitian, penemuan obat-obatan yang efektif dan ramah.
“Kita perlu meningkatkan kolaborasi untuk mewujudkan upaya 3T yang massive ini sebagaimana dilakukan pada COVID-19, bayangkan saja vaksin covid hanya ditemukan dalam waktu 1 tahun, sementara TBC vaksin masih sangat lambat, selama 94 tahun belum ada penemuan vaksin baru,” ujar dr. Erlina.
Anggota Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH, Ph.D., mengajak semua pihak untuk menemukan pendekatan inovatif dan juga menerjemahkan komitmen politik serta menemukan benchmark kepemimpinan yang dapat membantu kita kembali kepada jalur penanggulangan TBC.
Sedangkan Prof Tjandra Yoga Aditama selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, menyampaikan tujuh hal untuk mengatasi kekurangan dana global penanggulangan TBC dunia, diantaranya perlunya meningkatkan anggaran TBC sampai empat kali lipat termasuk anggaran domestik masing-masing negara dengan advokasi dan komitmen politik, dan menggali kemungkinan peran sektor swasta dan filantropi.
Lebih lanjut dikatakan, investasi penanggulangan TBC saat ini (US$ 5,3 miliar pada 2020) masih kurang dari setengah dari US$13 miliar yang diperkirakan diperlukan setiap tahun untuk mencapai target global yang ditetapkan oleh strategi END TB dan pertemuan tingkat tinggi PBB tentang TBC. Tahun 2020, pengeluaran global untuk layanan TBC turun untuk pertama kalinya sejak 2016, menjadi US$ 5,3 miliar (turun 8,7% antara 2019 dan 2020). Jika dunia tidak memenuhi END TB secara global akan terjadi 31,8 juta kematian TBC dan kerugian US$ 18,5 triliun selama periode 2020-2050.
Melanjutkan dua hari seminar ini, Presidensi Indonesia mengajak negara G20 serta beberapa negara undangan lainnya untuk mengembangkan “Call to Action on Financing for TB Response”. Dokumen tersebut akan dikembangkan selama Presidensi Indonesia berlangsung pada tahun 2022 dan diharapkan memunculkan pandangan kolektif yang konkrit untuk meningkatkan investasi yang lebih tinggi, lebih efektif, dan lebih efisien guna mencapai eliminasi TBC.