Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ISU-isu terkait lingkungan dan perubahan iklim menjadi isu yang akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan publik, baik di kancah lokal, nasional dan internasional. Di ranah lokal sangat mudah kita dapati beberapa kelompok atau organisasi yang menjadi pelaku penyelamat lingkungan, baik dengan melakukan aksi, diskusi dan hal lainnya. Seperti kumpulan mahasiswa pecinta alam, kumpulan pemuda yang peduli terhadap perubahan iklim, hingga lembaga-lembaga termasuk Non Government Organisation. Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi fenomena ini?
Salah satu even internasional terkait lingkungan dan perubahan iklim baru saja digelar akhir tahun lalu, tepatnya pada Oktober hingga November 2021 di Glasgow, Skotlandia. Kegiatan internasional tersebut dikenal dengan COP (Conference of Parties) yang ke 26, sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB. Di sinilah para pemimpin dunia berkumpul untuk membahas masa depan bumi dan isu-isu terakit perubahan iklim. Bisa dibilang, event ini adalah konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di planet ini.
Hal-hal di atas muncul tentu dengan latar belakang yang cukup mendesak. Bumi, rumah tempat seluruh makhluk hidup berpijak sedang tidak baik-baik saja. Deforestasi, polusi industri, pengelolaan sampah yang buruk, alih fungsi lahan, dll menjadi hal yang tak jauh dari penyebab masalah-masalah lingkungan yang muncul akhir-akhir ini. Bencana lokal dan global terjadi sudah tak terhitung jari. Lapisan ozon yang semakin menipis sudah tak bisa mendukung bumi untuk tetap pada keadaan seimbang. Manusia agaknya lupa bahwa bumi punya daya dukung yang tentunya memiliki batas.
Dari laman Earth.org, beberapa hasil temuan terkait kerusakan lingkungan sangat mencengangkan. Peningkatan emisi gas rumah kaca telah menyebabkan suhu bumi meningkat, yang memicu peristiwa bencana di seluruh dunia. Seperti yang terjadi di Australia, merupakan salah satu musim kebakaran hutan paling dahsyat yang pernah tercatat. Mikroplastik ditemukan di bekuan es Antartika untuk pertama kalinya. Gelombang panas terjadi di Antartika yang menyebabkan suhu naik di atas 20 derajat untuk pertama kalinya. Di sisi lain, peningkatan deforestasi hutan Amazon terus terjadi. Cina telah mengalami banjir terparah dalam beberapa dekade terakhir hingga lapisan es utuh terakhir di Kanada telah runtuh.
Bagaimana situasi di Indonesia?
Seperti halnya di kancah global, bumi Indonesia sendiri sudah beberapa kali mengalami bencana terkait isu lingkungan. Banjir, kebakaran hutan, cuaca ekstrem, kekeringan, tanah longsor sudah menjadi hal yang semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tercatat, ada 3.092 bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2021. Dampak yang ditimbulkan pun lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya (BNPB).
Salah satu yang masih segar di ingatan adalah banjir di Kalimantan. Pemicu banjir ini di antaranya adalah kerusakan hutan. Air hujan yang turun dengan intensitas tinggi, sudah tak lagi mampu ditampung oleh sungai Kapuas dan Melawi. Banjir pun terjadi dan merendam sedalam 1 - 3 meter selama dua pekan. Sangat memprihatinkan. Selain banjir Kalimantan, bibit siklon tropis Seroja terdeteksi di atas laut Sawu pada 5 April 2021.
Fenomena ini berdampak pada tingginya potensi hujan dengan intensitas sedang sampai lebat, disertai kilat/petir dan angin kecang pada wilayah NTT dan NTB. Akibat siklon tropis Seroja ini terjadi kerusakan cukup signifikan di sejumlah wilayah di NTT. Bukankah harusnya peristiwa-peristiwa menyedihkan ini bisa menjadi alarm yang menyadarkan kita semua bahwa aksi penyelamatan harus segera dilakukan?
Berbanding terbalik dengan bencana yang ada, alam Indonesia malah didorong pada titik kehancuran yang semakin parah. Seperti di kalimantan, masifnya angka deforestasi menjadi masalah utama. Mengutip data Forest Watch Indonesia dalam laporan “Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia”, rasio hutan di Kalimantan hanya memenuhi 47% dari total daratan per 2017.
Bagaimana dengan Hutan Papua?
Kalimantan dengan hutannya yang luas perlahan sudah tak mampu lagi memberikan perlindungan. Apakah Papua bisa jadi jalan keluar? Bagaikan dua sisi mata uang, jawabannya: Ya dan Tidak. Ya, karena Papua memang memiliki luas hutan yang mampu menjaga keseimbangan ekologi dan memberikan kehidupan bagi banyak makhluk. Namun tidak sepenuhnya demikian karena saat ini pun hutan di Papua sudah dalam keadaan yang memerlukan perhatian khusus.
Menurut data KLHK, pada periode 2018-2019, total pembukaan hutan di seluruh Indonesia mencapai 462.458,5 hektar, meningkat dari periode sebelumnya pada 2017-2018 yaitu 439.439,1 hektar. Tanah Papua yang tutupan hutannya terluas di Indonesia mengalami kehilangan hutan seluas 11.212,2 hektar di Provinsi Papua dan 5.296,1 hektar di Provinsi Papua Barat. Tim riset EcoNusa menemukan bahwa tingkat deforestasi 8,94% di Tanah Papua ada di dalam area konsesi perkebunan kelapa sawit pada periode 2001 hingga 2018.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis tim riset EcoNusa, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku total menempati area seluas 11,39 juta hektar. 86% dari total luas IUP tersebut berada di hutan alam primer. Jika hutan di seluruh area pertambangan ini dibuka, maka kemungkinan 10% hutan alam primer di Indonesia, atau setara 149 kali luas Provinsi DKI Jakarta, akan hilang dan kehilangan fungsinya. Padahal fungsinya sebagai penyimpan stok karbon, penyeimbang lingkungan, serta penyerap air.
Pengrusakan-pengrusakan yang terjadi disinyalir telah melewati daya dukung yang bumi miliki. Terbukti dengan maraknya kemunculan bencana-bencana ekologis baik di ranah lokal dan global. Papua sebagai benteng terakhir hutan tropis Indonesia harus diselamatkan dari deforestasi dan alih fungsi lahan.
Kesadaran menjadi titik utama bagi keseimbangan ekosistem, oleh karenanya perlu tindakan nyata yang menghadirkan berbagai jalan keluar untuk menyadarkan berbagai pihak. Maka dari itu, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai penduduk bumi untuk menyuarakan ancaman ini dan bergerak bersama untuk mencegah kerusakan yang semakin parah. Siapa pun bisa berpasrtisipasi dengan cara apapun.
====
Penulis Youth Digital Campaigner Econusa Foundation, Alumni FKM USU Departemen Kesehatan Lingkungan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]