Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MUNCULNYA romantisme hubungan percintaan 2 publik figur yang menjadi populer di kalangan milenial belakangan ini justru menimbulkan segudang prokontra, terutama bagi norma agama Islam yang ikut terseret di dalamnya.
Kendati publik telah familiar dengan model hubungan berpacaran seperti mereka ini, namun justru ada seorang habib yang mengambil momentum hubungan mereka untuk menyebarkan opini keliru di tengah-tengah masyarakat terutama kaum muslimin.
Katanya, model pacaran si T dan si F ini sama dengan model pengenalan untuk jenjang pernikahan (taaruf) dalam Islam.
Hal ini diungkapkan oleh Habib Jafar pada live streaming di YouTube Rans Entertainment milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang juga menghadirkan pasangan milenial T dan F.
Dalam kesempatan itu, Nagita Slavina bertanya mengenai hukum pacaran dalam Islam ke Habib Ja’far. Beliau pun menjawab pertanyaan tersebut, “Jadi gini hukumnya tergantung, dalam Islam itu ada namanya taaruf dan taaruf itu bisa disebut juga pacaran. Artinya keduanya itu saling mengenal dan saling berkomitmen untuk menikah”.
Sontak pernyataan ini ramai dikomentari netizen. Ada yang memuji sikap dan pernyataan Abu Jafar ada pula yang tidak karena dinilai menormalisasi berpacaran dalam hukum Islam.
Normalisasi Maksiat
Pernyataan Habib Jafar ini jelas mengarah pada normalisasi bermaksiat. Pacaran dan taaruf tidak bisa disamakan sama sekali, bahkan keduanya amat bertentangan dalam Islam.
Berpacaran adalah aktivitas maksiat dan termasuk perbuatan yang mendekati zina (besar). Maraknya aktivitas berpacaran tak lepas dari sistem kapitalisme global yang menguasai peradaban manusia saat ini.
Kapitalisme yang asasnya ialah sekulerisme atau pemisahan kehidulan dari sistem pengaturan agama (Islam).
Sehingga dalam interaksi di setiap lini kehidupan manusia tidak lagi berstandarkan halal dan haram, melainkan sesuai dengan hawa nafsu manusia, dan hanya mementingkan aspek materi, untung dan rugi.
Normalisasi maksiat seperti ini, mirisnya justru disosialisasikan oleh 'tokoh Islam' yang diframe oleh media mainstream agar terlihat seolah-olah hal semua pendapat dan ucapannya berasal dari Islam.
BACA JUGA: Fenomena Nikah Beda Agama di Indonesia
Padahal dalam Surah Al Isra ayat 32 Allah sudah tegaskan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk".
Aktivitas mendekati zina bisa berupa berkhalwat (berduaan dengan yang bukan mahrom). Berduaan dengan yang bukan mahrom saja sudah dikatakan aktivitas mendekati zina, apalagi dalam aktivitas berpacaran, tatap-tatapan, berpegangan tangan, berpelukan, dan sebagainya, yang lebih jelas lagi perbuatan mendekati zina.
Risalah Taaruf
Allah Swt menciptakan manusia dengan3 potensi hidup, yakni hajatul ‘udhowiyah (kebutuhan jasmani), gharizah (kebutuhan naluri) dan akal. Allah juga telah memberikan panduan lengkap dalam pemenuhan potensi tersebut.
Kebutuhan jasmani, misalnya, seperti makan, minum, tidur dan lainnya, Allah perintahkan agar dipenuhi dengan yang halal dan baik.
Lalu, kebutuhan gharizah sendiri terdiri atas3, yaitu gharizah nau' (naluri berkasih sayang dan melangsungkan keturunan), gharizah baqa' (naluri mempertahankan diri), dan gharizah taddayyun (naluri beragama).
Adapun rasa ingin mencintai dan menyayangi maka tergolong dalam gharizah nau'. Maka dalam pemenuhannya, Islam mengaturnya sedemikian rupa.
Bila seseorang sudah siap untuk menikah, maka akan ditempuh dengan cara bertaaruf. Sebelum melalui proses taaruf, yang terpenting ialah seseorang itu sudah berazam (niat yang sangat kuat) bahwa ia siap menikah, mengetahui hak dan kewajiban suami/istri, dan berniat karena ingin beribadah kepada Allah.
Taaruf sendiri artinya pengenalan secara mendalam untuk jejang pernikahan. Meski dikatakan pengenalan mendalam, ada koridor-koridor yang wajib diperhatikan.
Pertama, nadzor (melihat). Seorang pria boleh melihat wanita yang ingin dinikahinya secara langsung. Namun, sang wanita wajib ditemani oleh mahromnya, seperti ayah kandungnya, saudara laki-laki kandungnya, atau paman dari ayah kandungnya.
Kedua, khitbah (mengikat). Seorang pria menyampaikan niatnya ingin menikah baik diikrarkan secara terang-terangan atau dengan sindiran. Khitbah ini sifatnya mengikat. Bila seorang wanita telah dikhitbah oleh seorang lelaki, maka ia tak boleh lagi menerima khitbah dari laki-laki lain. Namun walaupun sifatnya mengikat, tetap tidak boleh melakukan hal-hal yang mendekati zina, karena belum dikatakan mahrom bila belum melakukan ijab dan qabul (menikah).
Ketiga, taaruf (proses pengenalan). Dalam proses taaruf ini, pria dan wanita boleh saling bertanya satu sama lain, baik melalui mahrom ataupun secara langsung dengan ditemani/diketahui mahrom si wanita. Pertanyaan yang boleh diberikan pun hanya yang menyangkut masalah visi, misi, kesepakatan keturunan, dan masalah-masalah yang memang menghantarkan pada pernikahan dan rumah tangga.
Selama ketiga proses tersebut, perantara/mahrom akan memantau secara ketat interaksi keduanya, jangan sampai terjadi hal-hal yang mendekati zina ataupun melanggar syariat.
Inilah risalah taaruf yang benar dan sesuai serta berbeda jauh dengan aktivitas berpacaran. Islam juga mengatur terkait interaksi antara wanita dan laki-laki sesuai syariat.
Islam akan memisahkan interaksi keduanya agar tidak terjadi ikhtilat (campur baur). Serta melarang berkhalwat (berduaan yang bukan mahrom).
Adapun bagi wanita, maka harus menutup aurat secara sempurna di ruang publik, dan bagi laki-laki, maka harus menundukkan pandangannya. Keduanya telah ada aturannya dalam Alquran.
Sedangkan dalam interaksi sosial seperti misalnya dalam hal kesehatan, pendidikan, dan jual beli maka tetap boleh dilakukan asalkan hanya sebatas keperluan yang berkaitan. Tentu, hal ini akan menghilangkan aktivitas maksiat seperti pacaran dan hal-hal yang mendekati zina.
====
Penulis Pegiat Literasi Islam, Aktivis Dakwah, Alumni Sastra Inggris, UISU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]