Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Sebanyak 17 kontainer atau sekitar 342,72 ton komoditi karet yang tertahan di Kapal Feeder MV Mathu Bhum V298E hingga kini belum ada kepastian. Karet yang merupakan pesanan pabrik ban dunia diantaranya Goodyear, Michelin dan Yokohama ini sudah tertahan selama 60 hari atau dua bulan. Para buyer (pembeli) pun sudah mempertanyakan kepastian karet ini.
"Sudah dua bulan tertahan. Wajar buyer bertanya. Kami (eksportir-red) juga bertanya, dimana reaksi cepat tanggap dari pemerintah? Bukankan selalu menjadi slogan bahwa eksportir adalah pahlawan devisa. Apalagi selama keadaan sulit di masa pandemi, kontribusi devisa melalui eksportir menjadi andalan untuk menopang perekonomian," kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah, Senin (4/7/2022).
Para perwakilan eksportir sudah melakukan pendekatan ke beberapa pihak pemerintah daerah dan pusat untuk menyelesaikan permasalahan ini dan belum membuahkan hasil. "Maka, saatnya Presiden Joko Widodo mengetahui permasalahan ini secara utuh dan segera turun tangan mengambil alih permasalahan ini agar kegiatan ekspor yang tertahan dapat normal kembali," kata Edy.
Untuk diketahui, Kapal Mathu Bhum V298E berbendera Singapura sebagai kapal pengangkut untuk transhipment (kapal feeder) berangkat dari Belawan pada 4 Mei sekitar pukul 11.35 WIB menuju kapal induk (mother vessel) di Port Klang-Malaysia dan Port of Singapore. Sekitar pukul 12.00 WIB, kapal dihentikan dan diperiksa KRI Karotang-872, di perairan Belawan karena diduga membawa 34 kontainer produk sawit yang dilarang ekspor. Total muatan kapal 436 kontainer. Sedangkan 402 kontainer lainnya produk non-sawit.
Edy mengatakan, barang ekspor tersebut telah sesuai regulasi di bidang ekspor yang dalam hal ini adalah Undang-undang Kepabenanan. Pemenuhan atas regulasi ini ditandai dengan pemerintah melalui Kantor Beda dan Cukai telah menerbitkan persetujuan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang tindak lanjutnya berupa Nota Pelayanan Ekspor (NPE). Ditinjau dari sisi carrier (pengangkut), regulator yang berwenang dalam hal ini Syahbandar telah menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance).
Edy mengatakan, eksportir mendesak agar persoalan ini segera ada solusi. Untuk karet, katanya, sangatlah mudah bagi buyer mengalihkan pembeliannya tidak lagi dari Sumut namun dialihkan ke produsen utama lainnya seperti Thailand dan Vietnam. Beberapa eksportir lain, contohnya produk dari kayu, telah dibatalkan kontraknya oleh pihak buyer. Keadaan ini menambah permasalahan baru, sebab bila kapal telah dilepas untuk melanjutkan pelayarannya ke pelabuhan tujuan, lalu status barang yang batal ini di pelabuhan tujuan menjadi tanggungan siapa untuk pengembaliannya
"Apakah eksportir, buyer, atau pihak lain? Hal yang hampir sama bagi produk yang mudah rusak seperti sayuran dan produk ikan," terang Edy.
Secara yuridis, kata Edy, barang yang telah dimuat ke sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah Pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor. Dan apabila opsinya kegiatan ekspor tidak dilanjutkan dan barang diturunkan di Pelabuhan Belawan maka yang akan dijalankan prosedur impor dengan status re-impor. Untuk prosedur ini akan ada ekstra kegiatan dan ekstra biaya yang menjadi beban pemilik barang atau sesuai dengan kontrak dagang. Pemilik barang harus menjalankan Pemberitahuan impor barang (PIB), bila re-impor berarti harus ada alasan reimpor, membayar PPh Impor, PPN Impor, membayar Bea Masuk, tindakan karantina untuk produk tertentu dan lainnya yang diatur oleh Bea dan Cukai.
Biaya pelabuhan juga tidak sedikit, diantaranya THC (terminal handling charge), ongkos trucking dari Container Yard dari ke depo/gudang dan sebaliknya. "Urusannya panjang dan memakan biaya. Makanya Presiden harus ambil alih untuk menyelesaikan masalah ini," kata Edy, seraya menambahkan bahwa devisa yang hilang dengan tertahannya produk ekspor sebanyak 402 kontainer ini berkisar Rp 279 miliar.