Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Mata uang rupiah masih diperdagangkan diatas 15.000/Dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan sore ini, rupiah ditransaksikan dikisaran level 15.035/dolar AS. Pemicu pelemahan rupiah lagi-lagi datang dari AS, dimana inflasi di negara tersebut naik melebihi ekspektasi. Realisasi inflasi AS pada bulan Juni 2022 mencapai 9,1% secara year on year (yoy).
Dan inflasi intinya juga sama, lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya yang mencatatkan kenaikan sebesar 5,9% (yoy) di bulan Juni. Realisasi inflasi sebesar itu menggiring opini bahwa The Fed akan menaikkan bunga acuan sebesar 100 basis poin di bulan Juli ini. Hal tersebut sangat masuk akal dilakukan The Fed nantinya untuk meredam tingginya laju tekanan inflasi.
"Ekspektasi kenaikan laju tekanan inflasi AS menjadi masalah baru bagi rupiah yang sebelumnya sempat cukup tenang di bawah 15.000/dolar AS lalu berbalik dan menembus level psikologis 15.000. Meski demikian saya menilai pelemahan rupiah saat ini terbilang wajar seiring dengan tinginya harapan kenaikan bunga acuan di AS," kata analis pasar keuangan, Gunawan Benjamin, Kamis (14/7/2022).
Gunawan mengatakan, pekan depan Bank Indonesia (BI) juga akan melakukan penyesuaian kebijakan bunga acuan, yang diperkirakan akan naik setidaknya sebesar 50 basis poin. Di pekan berikutnya The Fed juga akan menaikkan bunga acuannya. Jadisetelah serangkaian kebijakan penyesuaian bunga acuan tersebut, baik yang dilakukan BI maupun The Fed, rupiah nantinya masih akan mampu bertahan dikisaran 15.000/dolar AS.
"Saya menilai kebijakan BI itu sangat efektif dalam meredam gejolak pasar yang dipicu oleh kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS. Kita juga tidak bisa berharap banyak bahwa mata uang rupiah harus menguat di tengah tingginya kebijakan suku bunga acuan di banyak belahan negara di dunia ini. Ditambah lagi ada ancaman resesi yang bisa saja membuat kinerja ekonomi makro nasional yang terjebak dalam stagflasi justru bisa berubah menjadi resesi nantinya," kata Gunawan.
Sejauh ini, kinerja mata uang rupiah memang masih tertolong oleh kenaikan harga komoditas ekspor nasional seperti MIGAS, batu bara, hingga CPO yang menambah besaran cadangan devisa. Tetapi saat negara lain resesi, maka permintaan akan komoditas ekspor bisa saja berkurang. Harga bisa saja berbalik turun, dan intervensi dengan menguras cadangan devisa bukanlah jalan yang harus ditempuh secara terus menerus.
Jadi pengendalian kinerja mata uang rupiah jika hanya mengandalkan devisa justru sangat potensial menggiring laju tekanan inflasi nantinya. Sehingga perlu ada rem lain yang ditarik yakni dengan menahan kinerja pertumbuhan ekonomi. "Nah, pendekatan moneternya adalah dengan menaikkan besaran bunga acuan. Jadi sekalipun resesi yang terjadi di banyak negara lain, bukan berarti resesi tersebut tidak bisa datang di negeri ini," kata Gunawan.