Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjawab anggapan ruang udara Indonesia tetap bergantung ke Singapura setelah adanya kesepakatan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) Indonesia dan Singapura. Luhut juga menepis soal delegasi ruang udara di bawah 37 ribu kaki ke Singapura.
Pernyataan itu disampaikan Luhut dalam keterangan pers di akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (8/9/2022). Luhut ditanya soal adanya anggapan bahwa kesepakatan saat ini tidak ada bedanya dengan kesepakatan sebelumnya mengenai delegasi ruang wilayah 0-37 ribu kaki kepada Singapura. Hal itu berarti take off dan landing pesawat Indonesia di wilayah yang masuk FIR RI tersebut bergantung kepada Changi, termasuk VIP Indonesia.
"Sebenarnya nggak begitu juga. Kenapa, kalau 37 ribu kaki itu bikin tabulat murni seluas negara Singapura, kan dia nanti masuknya bagaimana. Kan dia harus mempunyai approach line-nya juga dan itu yang kita lakukan," kata Luhut.
Luhut mengatakan Singapura masih menggunakan ruang udara Indonesia untuk approach. Luhut mencontohkan saat pesawat lepas landas dari bandara Singapura.
"Sama juga dengan Malaysia kalau masuk Singapura, karena kita kan bernegara, itulah satu bentuk bernegara itu. Mereka juga bisa masih menggunakan ruang kita untuk approach. Karena kalau Anda lihat begitu mereka take off, masa take off-nya langsung tegak lurus, kan nggak juga. Jadi mesti butuh waktu juga untuk mereka naik ke atas," ujar Luhut.
Sorotan mengenai kesepakatan FIR itu sebelumnya disampaikan guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana. Dia menilai Singapura cerdik sehingga bisa mengecoh Indonesia.
"Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR sehingga para negosiator Indonesia terkecoh," kata Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Minggu (30/1).
FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun, justru saat perjanjian efektif berlaku ternyata di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37 ribu kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Dia mengatakan pada ketinggian tersebut bagi Singapura sangat krusial. Hal ini karena pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.
"Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan," ujar Hikmahanto Juwana.
Menurutnya, bila FIR diserahkan ke Indonesia, hal itu akan mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub. Dia menyebut ada dua kecerdikan Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia.
"Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail," tuturnya.
Menurut dia, bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian ada peribahasa yang selalu menjadi panduan, yaitu 'the devil is in the details'. Dia menjelaskan, maksud peribahasa ini adalah seorang lawyer dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail untuk menang. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail lantas akan menjadi makanan empuk.
"Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian," beber Hikmahanto Juwana.
Hal tersebut diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Bahkan pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua negara.
"Ini berarti pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan," tegas Hikmahanto Juwana.
Kedua, ujarnya, kecerdikan Singapura adalah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan. Pemaketan seperti ini, lanjut dia, sangat merugikan pada 2007 saat perjanjian ekstradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan.
"Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR maka selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi," kata Hikmahanto Juwana menganalisis perjanjian itu.
Lantas, Singapura akan mensyaratkan pada Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus. Bila hanya salah satu, Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi dan karenanya perjanjian tidak akan efektif berlaku.
"Singapura berkalkulasi perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR mengingat menjadi sumber kontroversi pada tahun 2007 sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi," ujar Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Bandung itu.(dtc)