Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETIAP bulan Badan Pusat Statistik menyampaikan besaran angka inflasi. Bukan tanpa sebab, angka ini selalu ditunggu, baik oleh kalangan akademisi, profesional, hingga pengusaha dan investor.
Inflasi selalu disederhanakan dengan daya beli masyarakat. Inflasi naik, daya beli terjaga, Inflasi turun, daya beli melemah. Eits, tunggu dulu, tidak semudah itu kesimpulannya Gan... Sudah saatnya kita melihat sederhananya indikator penurunan daya beli dengan sedikit lebih kompleks.
Secara teori, daya beli masyarakat setidaknya dipengaruhi oleh 4 indikator yang bisa didapatkan hanya dari angka yang dihasilkan oleh BPS saja. Pertama angka inflasi, kemudian kedua konsumsi rumah tangga, ketiga jumlah pengangguran, dan keempat jumlah penduduk miskin. Setidaknya keempat indikator ini mempunyai korelasi yang erat jika ingin menyimpulkan kondisi daya beli masyarakat.
BACA JUGA: Dipicu Harga Daging Ayam dan Rokok, Sumut Inflasi 0,27% di Mei
Tak dipungkiri, inflasi lebih trend dan up to date. Inflasi merupakan kecenderungan naiknya harga barang dan jasa secara umum yang berlangsung terus-menerus. Terus menerus disini dapat diartikan secara berkelanjutan antar waktu. Kesimpulan sederhananya, jika harga barang dalam negeri meningkat maka inflasinya akan mengalami kenaikan.
Tentu saja, dengan naiknya harga barang dan jasa tersebut mengakibatkan turunnya nilai uang. Jika bulan lalu harga beras 10 ribu per kg dan kemudian naik menjadi 11 ribu per kg di bulan ini, maka dengan uang 10 ribu, masyarakat tidak lagi dapat membeli beras 1 kg bukan? Seolah nilai uangnya yang menurun. Dengan demikian, inflasi dapat diartikan sebagai penurunan nilai mata uang.
Lebih lanjut lagi, angka inflasi ini dihitung berdasarkan indeks harga konsumen. Data tersebut dikumpulkan melalui survei harga konsumen yang dilakukan oleh BPS seluruh Indonesia.
BACA JUGA: Dapatkah Aneka Bantuan Putuskan Rantai Kemiskinan?
Di sisi lain, daya beli sendiri merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentuk barang dan jasa. Itulah sebabnya, kenapa dikatakan daya beli masyarakat dapat diukur salah satunya dengan indikator besaran inflasinya.
Inflasi meningkat diartikan sebagai daya beli yang terjaga. Biasanya inflasi dianggap nyaman dan cukup baik adalah berada di kisaran dua sampai tiga persen tapi kalau inflasi berada di bawah dua persen bahkan minus atau dengan kata lain deflasi, ini justru mengindikasikan terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Selanjutnya, adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga. Yang dimaksud dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah pengeluaran atas barang dan jasa yang akan dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut.
BACA JUGA: Waspadai Jebakan Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi rumah tangga ini semestinya juga sebagai indikator daya beli masyarakat. Jika terjadi penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga maka daya beli masyarakat yang disinyalir ikut menurun. Perlu diselidiki lebih lanjut, kenapa masyarakat mengurangi konsumsi (belanja) nya. Apakah karena harganya meningkat, atau karena pendapatan yang menurun, dsb.
Indikator berikutnya yang perlu juga dicermati adalah pengangguran terbuka. Indikator ini juga salah satu sinyal dari situasi daya beli masyarakat. Definisi atau kriteria dari pengangguran terbuka, di antaranya adalah mereka yang tidak punya pekerjaan dan sedang berusaha untuk mencari pekerjaan, atau mereka yang tidak punya pekerjaan dan sedang mempersiapkan usaha, ataupun juga mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa bahwa mereka tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, ataupun juga mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan namun belum mulai bekerja. Beberapa kriteria dari angka pengangguran ini didapatkan melalui Sakernas atau survei angkatan kerja nasional.
Selanjutnya adalah jumlah penduduk miskin. BPS mengukur kemiskinan itu berdasar atas kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
BACA JUGA: Perikanan Indonesia: Sebuah Ironi di Negeri Bahari
Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai titik kemampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebutuhan makanan dan bukan makanan. Jadi, yang dianggap penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita (per orang) di bawah garis kemiskinan tersebut.
Jadi, jumlah penduduk miskin adalah berapa persen penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Data ini dikumpulkan oleh BPS melalui Susenas, yaitu survei sosial ekonomi nasional.
Kesimpulan suatu fakta bahwa daya beli masyarakat rendah dapat diperoleh dari keempat kondisi tersebut. Inflasi yang rendah, konsumsi yang melambat, pengangguran yang meningkat, serta pertambahan jumlah penduduk miskin, kesemuanya berakibat pada turunnya daya beli, khususnya untuk golongan menengah ke bawah.
Jadi, apakah saat ini daya beli masyarakat sedang menurun..?
Silahkan cermati datanya melalui www.bps.go.id
====
Penulis Fungsional Statistisi Ahli Madya, BPS Kota Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]