Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEBUAH kemajuan dari rencana perhelatan Pemilu 2024, terutama untuk pemilihan pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden (bacawapres) telah terlaksana pada Sabtu, 2 September 2023, di Hotel Majapahit atau eks Hotel Yamato Surabaya, dengan dideklarasikannya Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar menjadi pasangan pertama yang siap untuk berkompetisi dan dikupas secara rekam jejak maupun gagasan.
Namun sayangnya, keberanian Anis dan Cak Imin (Muhaimin Iskandar) justru dihadapkan pada munculnya panggilan pemeriksaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus hukum di Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, yang dihubungkan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan “kardus durian“ yang terjadi pada tahun 2011 – 2012 saat Cak Imin menjabat menteri.
Pemanggilan yang dilakukan KPK secara otomatis langsung melahirkan polemik, karena memunculkan persepsi bahwa pemanggilan yang hanya berselang sehari setelah deklarasi pasangan Capres dan Cawapres tersebut sangat berbau politis, yang ingin mengagalkan pasangan AMIN (Anis-Imin ) tersebut. Karena merupakan peristiwa 11 tahun yang lalu, dan Cak Imin tetap berada dalam jabatan publik sepanjang waktu tersebut.
Menguatnya anggapan politisasi hukum dari tindakan KPK di atas tentunya karena selalu muncul pada saat menjelang kontestasi Pemilu. Padahal ketika tahun 2018 KPK pernah dipraperadilankan di Pengadilan Jakarta Selatan dan Agustus 2022 disomasi oleh lembaga MAKI terkait kasus yang dikaitkan pada Cak Imin. Apalagi pemanggilan itu dilakukan pasca deklarasi Cak Imin sebagai calon wakil presiden 2024.
BACA JUGA: 78 Tahun Kemerdekaan, Bonus Demografi dan Kemiskinan
Melihat situasi dan fakta perjalanan kasus hukum yang dikaitkan terhadap Cak Imin tersebut, menjadi sangat sulit untuk menyatakan tidak adanya unsur politis di balik pemanggilan pemeriksaan Cak Imin.
Jika memang KPK konsentrasi pada penyelesaian kasus seharusnya dilakukan sejalan dengan tersangka sebelumnya, dan tidak berlarut sehingga seolah menjadi alat penyaderaan politik seperti saat ini.
Maka dapat dikatakan bahwa KPK telah menyulitkan dirinya dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Walaupun KPK menyatakan bahwa pemanggilan Cak Imin adalah proses penegakan hukum tanpa pandang bulu, namun memisahkannya dari asumsi politisasi hukum juga tidak bisa, karena melahirkan pertanyaan, mengapa tidak diselesaikan pada 2011-2012, justru saat menjelang PEMILU 2024 memunculkan agenda penyelidikan lagi.
BACA JUGA: Bonus Demografi, Peluang atau Bencana?
Penegakkan Hukum Menjadi Alat Politik
Dalam konstitusi dan perundangan-undangan menegaskan, bahwa setiap warga negara membutuhkan kepastian hukum, sehingga sudah seharusnya tidak ada satu individu atau warga negara yang kasus hukumnya menggantung, dimana melahirkan kondisi yang bersangkutan menjadi tersandera, teritimidasi bahkan menjadi objek pemerasan dalam penanganan kasus hukum.
Bukan sesuatu yang menjadi rahasia lagi dalam pergulatan politik bahwa beberapa peristiwa melibatkan instrumen hukum yang digunakan sebagai alat politik, dengan mencari kesalahan pihak tertentu yang kemudian menjadi alat penekan dengan ancaman, termasuk membiarkan persoalan hukum pihak objek sasaran tidak terselesaikan, sehingga tersandera tanpa mengetahui yang bersangkutan benar bersalah atau tidak.
Jika melihat persoalan yang menimpa Cak Imin, maka asumsi penegakan hukum sebagai alat politik sangat sulit untuk dihindari. Peristiwa yang muncul ketika Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2009 – 2014, adalah kasus yang dikenal dengan istilah "kardus durian" merupakan kasus korupsi terkait proyek Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Transmigrasi.
Kasus ini menyeret dua pejabat di Kemenakertrans saat itu, yakni Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Ditjen P2KT) I Nyoman Suisnaya, serta Kepala Bagian Perencanaan dan Evaluasi Program Kemnakertrans Dadong Irbarelawan, yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 25 Agustus 2011 bersama seorang pengusaha bernama Dharnawati dengan uang senilai Rp 1,5 miliar yang disimpan dalam kardus durian.
BACA JUGA: Menguapnya Substansi Reformasi
Sedangkan pemanggilan KPK saat ini terkait dengan dugaan korupsi dalam pengadaan software untuk mengawasi kondisi TKI di luar negeri. Kasus yang terjadi pada tahun 2012, dimana KPK menetapkan 3 tersangka, yaitu Reyna Usman, mantan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemnaker, Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker I Nyoman Darmanta dan Direktur PT Adi Inti Mandiri Karunia.
Untuk kasus-kasus tersebut sudah berjalan proses peradilan dan para tersangka sudah menjalani vonis yang dijatuhkan dalam pengadilan. Terkait keterlibatan Cak Imin bahkan MAKI melakukan upaya seperti praperadilan ke pengadilan dan somasi kepada KPK dan tidak ada tindak lanjut dari KPK
Tidak adanya tindak lanjut dari KPK seolah mengidikasikan telah terjadi pembiaran yang melahirkan berbagai persepsi terhadap Cak Imin dan kasus tersebut. Situasi yang tidak bisa menjelaskan posisi Cak Imin, sehingga mengesankan proses penyaderaan hukum yang dapat berimplikasi politik terhadap Cak Imin. Apalagi kemudian muncul pemanggilan KPK terhadap Cak Imin setelah proses deklarasi.
Secara jujur harus diakui stigma akibat pembiaraan yang dilakukan oleh KPK selama 11 tahun telah menghambat keleluasan Cak Imin dalam melakukan gerakan politiknya, walaupun Cak Imin berada dalam jabatan sebagai Wakil Ketua DPR, namun bayangan kasus yang tidak selesai seolah menempatkannya dalam sandera kasus hukum yang ditangani KPK.
BACA JUGA: Politik Uang dan Pembusukan Demokrasi
Asumsi yang sangat mungkin muncul selain menyandera Cak Imin adalah adanya skenario politik yang mengarah pada bahwa KPK menjadi alat politik kekuatan tertentu. Yang paling mudah adalah mengarahkan telunjuk pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Walaupun Cak Imin tidak menjadi tersangka sangat mungkin ini menjadi langkah untuk men-down grade atau menurunkan tingkat elektabilitas Cak Imin secara pribadi maupun pasangan AMIN.
KPK mungkin tidak menyadari bahwa langkah yang dilakukan saat ini bisa menjadi peluru tajam yang diarahkan pada Presiden Joko Widodo. Yang melahirkan asumsi liar akan campur tangan Presiden bahwa KPK menjalankan skenario untuk mengganjal pencalonan Anis Baswedan atau menurunkan elektabilitas pasangan AMIN. Apalagi PKB dan Cak Imin adalah bagian dari koalisi presiden, yang bergabung dalam koalisi perubahan yang dianggap antitesa Presiden Joko Widodo.
Pentingnya Kepastian Hukum
Melihat perkembangan situasi di atas dan kemungkinan kegaduhan akibat asumsi yang mungkin berkembang akibat proses hukum yang didesain menjadi isu publik, apalagi kemudian dihubungkan dengan momentum politik tertentu, maka akan sangat mungkin KPK, Pemerintah dan proses perhelatan PEMILU akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat.
Walaupun secara aturan, langkah KPK menyelidiki kasus di Kemnakertras masih sesuai aturan karena masih dalam jangkauan waktu yaitu 18 tahun, namun siapapun tidak bisa membatasi asumsi bahwa kasus yang sudah lama dan sudah ada yang di vonis pengadilan tiba-tiba muncul kembali, memiliki nuansa politik yang sangat tinggi.
Terutama ketika peristiwa hukum yang sudah berlalu selama 11 tahun tanpa ada keberlanjutannya, muncul kembali, saat yang bersangkutan dideklarasikan sebagai cawapres, sehingga sangat penting bagi KPK untuk menjelaskan secara transparan kepada publik alat bukti dan penyebab utama tidak berjalannya penyelidikan dalam waktu yang sangat lama.
KPK dan penegak hukum lainnya sejatinya sudah berulangkali diingatkan agar menyelesaikan setiap kasus secara transparan dan lengkap tanpa ada yang tertinggal, sehingga melahirkan kepastian hukum bagi setiap orang, dan menghindarkan asumsi kasus yang bisa "timbul tenggelam" sesuai kebutuhan, seperti kasus terkait Cak Imin yang hilang prosesnya sekian tahun tapi tiba-tiba muncul kembali.
BACA JUGA: Ketimpangan Ekonomi dan Politik Uang
Disinilah pentingnya kepastian penegakan hukum bagi seluruh aparatur penegak hukum sehingga asumsi ataupun persepsi bahwa hukum bisa dipolitisasi atau menjadi alat politik akan terminimilisir dengan sendirinya, dan melepaskan penegak hukum atau pemerintah dari stigma negatif.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]