Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DALAM momentum Iduladha, setiap pelaku usaha peternakan tengah giat memenuhi kebutuhan stok sapi maupun kerbau untuk pelaksanaan peringatan hari raya kurban. Dalam momentum ini kebutuhan sapi dan kerbau di kota-kota besar Indonesia untuk peringatan Iduladha dalam waktu setahun umumnya mencapai jutaan ekor.
Tingginya kebutuhan ternak sapi dan kerbau untuk peringatan Iduladha memberi bukti jika industri peternakan bukan hal mudah dikelola. Jika melihat data perkembangan terkini, kebutuhan pengadaan hewan ternak baik sapi dan juga kerbau, angka volumenya berkisar 20 juta ekor. Hal ini demi mengakomodasi serapan kebutuhan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Bila dipahami secara baik, industri peternakan merupakan bagian dari usaha yang memberi dampak lanjutan bagi penggerak lintas sektoral kebutuhan ekonomi di Indonesia.
Apalagi hal ini juga harus mengakomodasi segala macam kebutuhan dihasilkan dari industri ini berupa penghasil protein hewani yang bernilai gizi tinggi seperti
daging, telur, dan susu. Tentu untuk dapat sukses menggerakan usaha peternakan ini diharapkan mampu memberi dampak peningkatan pendapatan masyarakat yang bekerja sebagai peternak.
Namun seiring perkembangan teknologi dan telekomunikasi yang canggih. Mulai muncul kekhawatiran besar akan nasib lanjutan dari industri dunia peternakan ini.
BACA JUGA: Tindakan Afirmatif Ekonomi Negara
Apakah generasi milineal muda Indonesia masih tetap bersemangat melihat bisnis industri peternakan ini sebagai wujud serapan ekonomi yang potensial dan harus dirawat secara terus menerus.
Melihat Problema
Dalam perkembangan sejarahnya, sebagian besar produksi daging sapi di Indonesia hampir seluruhnya diperoleh dari peternakan rakyat yang dihasilkan secara mandiri.
Ada lebih dari 70 persen sisanya impor. Pola pemeliharaan ternak di Indonesia ini pun banyak yang lebih didominasi usaha peternakan berskala kecil, dengan rata-rata
kepemilikan ternak di Indonesia rendah, ternak dijadikan sebagai tabungan hidup, ternak dipelihara pemukiman padat penduduk, usaha ternak dilakukan turun temurun.
Pada masa Belanda keberadaan hewan-hewan ternak lebih banyak diprioritaskan untuk penunjang kebutuhan sektoral ekonomi yang lain.
Seperti kebijakan 1806 saat Pemerintah Belanda mendatangkan sapi benggala dari India untuk keperluan perkebunan tebu Indonesia.Langkah menarik yang pernah dilakukan oleh Belanda dalam menumbuhkembangkan produktivitas sapi secara matang diantaranya melalui ketetapan hadir pada 1836 yang berisikan imbauan dan larangan pemotongan sapi betina produktif.
Ini merupakan awal campur tangan pemerintah terhadap peternakan dan kesehatan hewan. Momen inilah yang dijadikan sebagai hari Peternakan dan Kesehatan Hewan.
BACA JUGA: Membangun Infrastruktur melalui Potensi Desa
Melewati perjalanan sejarah yang panjang, masalah mendasar dari dunia bisnis peternakan di Indonesia saat ini adalah terkait tekanan produktivitas secara sistem.
Entah itu menyangkut persaingan dengan impor, pola pemeliharaan ternak, keterbatasan lahan pemeliharaan ternak, hingga masalah kesulitan mendapatkan pakan ternak.
Masalah seperti impor sapi telah lama menjadi isu yang mengundang perdebatan berbagai kalangan, karena ditengarai telah menjadi alat permainan bagi mereka yang ingin meraup keuntungan dan manfaat dari proses impor tersebut.
Selisih harga daging sapi di negara asal impor dan di pasar domestik berdasarkan beberapa catatan hampir mencapai 100%, sehingga menyebabkan bisnis impor sapi sangat menggiurkan.
Impor sapi yang terdiri dari sapi hidup (untuk bibit dan bakalan) dan daging nilainya cenderung semakin meningkat.
BACA JUGA: Nilai Utama Preferensi Ekonomi
Disinilah pemerintah harus benar- benar serius dalam membangun kebijakan ataupun peta jalan (road map) pengembangan ternak supaya mampu dirumuskan dengan suatu sasaran yang jelas.
Jika diharapkan hanya dari daging sapi atau ternak ruminansia saja hampir mustahil mewujudkan swasembada daging pada level konsumsi paling rendah sekalipun, karena dengan level konsumsi harus sejalan dengan laju pertumbuhan konsumsi yang rendah saja, inilah awal mula ketergantunganpemenuhan pun harus melalui impor.
Dibutuhkan adanya keseriusan dan terobosan-terobosan baru dalam membangun industri peternakan nasional, jika Indonesia ingin mencapai swasembada dan mengejar ketertinggalan.
Masalah-masalah mendasar yang dihadapi dalam pembangunan peternakan harus dapat ditemukenali dengan baik, untuk memudahkan merumuskan solusinya secara efektif.
Pengalaman menunjukkan jika dalam dua dasawarsa terakhir, pemerintah selalu mencanangkan swasembada daging, namun sampai saat ini belum pernah bisa diwujudkan apa yang disebut sebagai swasembada daging sapi Indonesia?
BACA JUGA: Momentum Strategis Hadapi Gejolak Ekonomi
Terobosan Produktivitas
Selama ini kawasan Provinsi sebagai basis peternakan sapi Indonesia masih cukup sedikit. Tercatat yang menjadi langganan produksi sapi adalah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Lampung.
Masih terkonsentrasinya kawasan penghasil peternakan sapi membuat terjadinya konsentrasi secara kuat pada wilayah – wilayah ini. Sebagai konsekuensinya minimnya serapan alokasi inilah yang sering dijadikan kamuflase untuk mendatangkan impor sapi.
Di sisi lain, peternakan sapi selain dikembangkan oleh peternak, juga terdapat perusahaan atau ranch yang memelihara sapi sampai ribuan ekor yang memenuhi skala ekonomi, sehingga dapat bersaing di pasar ekspor.
Rendahnya kinerja peternakan sapi secara merata dan meluas membuat terjadi kebuntuan dalam memenuhi perkembangan permintaan konsumsi daging, karena pada sisi ini baik pemerintah dan swasta dihadapkan pada persoalan teknis maupun nonteknis (kebijakan, manajemen, koordinasi) telah menghambat dan memperlambat pembangunan peternakan sapi.
Apalagi program pengembangan ternak sapi yang sudah dibuat seringkali tidak didukung oleh sumber daya yang memadai terutama alokasi pembiayaan baik dalam bentuk APBN maupun kredit perbankan.
Tak hanya soal modal, pada soal koordinasi regulasi antarinstansi yang lemah. Para peternak memiliki akses yang rendah terhadap perbankan, baik karena ketidaktahu- annya maupun karena kebijakan perbankan yang belum sepenuhnya berpihak kepada peternakan rakyat.
Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi komoditas unggulan.
Pengembangan ternak sapi membutuhkan lahan luas, terutama untuk membangun usaha ternak yang ekonomis dengan skala usaha yang besar. Ladang penggembalaan di masa lalu kini sudah sebagian besar beralih fungsi, sehingga lahan rerumputan untuk ternak semakin terbatas.
Sementara itu, para peternak masih belum dapat mengakses dengan baik pakan buatan baik dari sudut finansial maupun secara fisik karena belum banyak tersedia secara lokal.
Untuk membangun industri peternakan secara terpadu mulai dari industri pembibitan sampai pada industri pengolahan memerlukan lahan yang luas, didukung oleh
infrastruktur ekonomi yang mamadai.
BACA JUGA: Penataan Ulang Sistem Pertambangan Indonesia
Lahan-lahan luas yang masih dapat dijumpai di luar Jawa, belum dapat digunakan efektif karena keterbatasan infrastruktur jalan, transportasi, listrik, air bersih, dan infrastruktur ekonomi lainnya.
Terakhir masalah ketersediaan bibit/bakalan terutama yang bermutu baik atau bibit unggul. Bisnis pembibitan sapi nampaknya tidak menarik bagi investor dengan berbagai pertimbangan.
Pelaku usaha pembibitan sapi potong sebagian besar dilakukan oleh usaha peternakan rakyat dengan pola induk anak (cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan ini seringkali terintegrasi dengan usaha pertanian lainnya.
Jika pola terobosan ini mampu dikelola baik maka bukan mustahil akan memberi dampak peningkatan bagi produktivitas hasil peternakan secara kokoh.
====
Penulis Peneliti dan Mahasiswa S3 Universitas Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]