Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TERUNGKAPNYA dalang dan motif pembunuhan pimpinan redaksi media online LasserNewsToday, Mara Salem Harahap di Simalungun, adalah puncak teror akibat isi pemberitaan yang dialami oleh jurnalis di wilayah Sumatera utara dalam sebulan terakhir. Sebelumnya seorang jurnalis media online di Pematang Siantar diteror orang tak dikenal (OTK) dengan percobaan pembakaran rumah, kemudian pembakaran mobil milik jurnalis dari Metro TV asal Kabupaten Serdang Bedagai yang terparkir di depan rumahnya dan teror bom molotov kepada seorang jurnalis di Binjai. Seluruh tindakan intimidasi, teror dan kekerasan tersebut ditengarai dampak dari isi pemberitaan mereka.
Pemberitaan yang dimuat para jurnalis memang sangat sering membuka fakta tentang dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan, BUMN, BUMD, sindikat peredaran narkoba, pengelola fasilitas judi, sampai bisnis hiburan malam yang rawan dengan praktik perdagangan manusia dan pprostitusi.
Selalu berulang dan meningkatnya kasus teror serta kekerasan terhadap jurnalis di Sumatera utara, mungkin akibat dari lambannya proses penegakan hukum dalam setiap laporan para jurnalis yang menjadi korban. Sebab dalam dua tahun terakhir belum ada pelaku teror dan kekerasan terhadap jurnalis yang ditangkap atau terungkap.
Selain penegak hukum, Dewan Pers sendiri terkesan pasif dalam menstimulus proses hukum dan mendorong proses untuk menemukan motif dari pelaku. Padahal Pasal 15 ayat (1) tentang UU Pers menyatakan Dewan Pers hadir dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional .
Peristiwa yang menimpa para jurnalis secara jelas telah melanggar Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebebasan pers adalah untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) , melanggar KUHP serta Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yakni pasal 170 KUHP mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, dan pasal 18 ayat 1 UU Pers tentang tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik.
Dalam pasal 18 (1) UU Nomor 40/1999 tentang Pers disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pasal 4 kemerdekaan pers, pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Di luar persoalan teror dan kekerasan, para jurnalis juga sangat rentan berhadapan dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ). Banyak kejadian bagaimana para pihak yang menjadi objek atau berkaitan dengan pemberitaan, tidak mengajukan hak jawab atau melapor kepada Dewan Pers, namun justru mempidanakan para jurnalis dengan dalih pencemaran nama baik.
Kebebasan pers dan karya jurnalistik seolah dihadang dengan UU ITE, undang-undang yang dapat menjerat siapa saja, situasi yang mengakibatkan banyak jurnalis harus berhadapan dengan proses hukum akibat dilaporkan terkait isi pemberitaan.
Kualitas Pers dan Indikator Demokrasi
Untuk peningkatan kualitas demokrasi, salah satu prasyaratnya adalah perlindungan hak kebebasan publik dalam mengakses informasi, terutama informasi terkait kinerja para pejabat publik serta lembaga negara, kualitas kebijakan yang dirumuskan dan perkembangan ekosob ( ekonomi, sosial dan budaya ) di setiap waktunya.
Perlu diingat bahwa negara yang menganut demokrasi seharusnya sangat berkepentingan dengan kebebasan pers yang berkualitas, sebagai sarana untuk melakukan sosialisasi, komunikasi, internalisasi dan desiminasi program kepada publik, karena sejauh ini pers adalah wahana edukasi yang paling efektif dalam mendorong pengetahuan masyarakat dalam banyak hal.
Karena itu, kebebasan pers ibarat oksigen bagi demokrasi, maka penghormatan terhadap regulasi untuk menjaga kualitas informasi tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaturan kode etik dan dasar jurnalistik yang telah diatur dalam UU Pers. Harus diingat bahwa ketertutupan informasi bagi publik sama berbahayanya dengan banjir informasi tanpa verifikasi.
Sehingga pengertian kebebasan pers sendiri tidak bisa berdiri terpisah dari sifatnya untuk dipertanggungjawabkan, dengan mengedepankan dasar - etik jurnalistik, akurasi sumber informasi dan tanpa disinformasi yang dapat menyebabkan distorsi atau kebohongan.
Dengan perubahan teknologi pemberitaan di era digitalisasi, banyak media mendorong tuntutan kerja intelektual jurnalis untuk memberikan berita yang berkualitas secara real time dan akurat, dimana tuntutan ini tentunya sangat membutuhkan perlindungan profesinya.
Melalui akurasi, kecepatan dan ketepatan berita di era digital saat ini, tentunya sangat membutuhkan pemahaman dari semua pihak tentang tugas dan fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi, untuk memenuhi hak masyarakat dalam mengetahui menegakkan nilai - nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM.
Apalagi dalam masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir dua tahun ini, maka sangat penting menjaga kualitas dan keselamatan para jurnalis, kualitas informasi akan terjaga agar ruang kebebasan pers dan perlindungan terhadap para jurnalis tidak mengalami penyempitan, terutama penghambatan akses informasi dari para pihak terkait.
Selama 2020 hingga pertengahan 2021, cukup banyak peristiwa yang mempersempit kebebasan para insan pers dalam karya jurnalistiknya. Selain peristiwa teror dan kekerasan, para jurnalis juga harus berhadapan dengan pasal-pasal pidana dalam UU ITE.
BACA JUGA: Mimpi Pariwisata Internasional dan Eco-Tourism Danau Toba
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ICJR, LBH Pers dan IJRS, sebanyak 35 ( 28%) dari 125 responden jurnalis pernah mengalami penyensoran atas berita yang dimuat, yang didominasi teguran atau peringatan tidak resmi dari pihak pemerintah menjadi bentuk penyensoran sebesar 25,7%.
Sedangkan laporan LBH Pers menyebutkan, sepanjang 2020 terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis, dimana 5 kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan 3 kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.
Padahal secara aturan Indonesia adalah salah satu negara penganut paham pers liberal, yang tertuang dalam Undang-undang No 40/ 1999 tentang Pers, terutama Pasal 4 menegaskan: pertama, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Karena itu indikator kemajuan demokrasi sangat memerlukan kekuatan eksistensi pers sebagai penyeimbang untuk saling memberi kontribusi yang terbaik. Sebab melalui pemberitaan pers yang merdeka, penyelenggaraan pemerintahan dan demokrasi dapat dikontrol agar berada pada jalan konstitusi dan aturan.
Sedangkan bagi publik, pers adalah salah satu media yang bisa berfungsi untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran, fungsi yang dapat berjalan secara optimal apabila pers dan para jurnalisnya mendapat jaminan kemerdekaan dari pemerintah melalui undang-undang.
Perlindungan Pers untuk melindungi Demokrasi
Perlindungan bagi pers sangat jelas tertuang dalam UU No 40/1999 tentang Pers, terutama Pasal 8 yang menyatakan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum . Dimana perlindungan yang dimaksud adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada pers dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara teori Hak Asasi Manusia (HAM) perlindungan bagi pers merupakan bagian dari perlindungan yang sangat terkait dengan tugas jurnalistik yang meliputi hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Perlindungan yang tidak hanya bermakna jaminan negara dalam bentuk kebijakan regulasi, tetapi rensponsif dalam melakukan tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran HAM, terutama saat insan pers melaksanakan kegiatan dampak pemberitaan jurnalistiknya. Karena dari keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapatlah kita dapat mengukur kemajuan demokrasi.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]