Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Setiap tanggal 30 Maret, segenap pecinta dan insan film Indonesia merayakan sebuah hari yang diperuntukkan bagi mereka, ialah Hari Film Nasional. Ditilik dari sejarahnya, tanggal tersebut diambil dari waktu pengambilan gambar hari pertama dari film 'Darah & Doa' ('Long March of Siliwangi') pada tahun 1950.
Film tersebut merupakan garapan sutradara Umar Ismail yang diproduksi oleh Perfini (Perusahaan Film Nasional). Umar Ismail, selain sebagai sutradara, juga menjadi salah satu pendiri Perfini.
Sebenarnya, perjalanan perfilman Indonesia tidak baru dimulai pada 1950. Ada sejarah panjang di balik datang dan berkembangnya gambar bergerak tersebut ke Indonesia.
Dikumpulkan dari berbagai sumber, sejarah panjang tersebut bermula dengan hadirnya bioskop pertama di kawasan Tanah Abang pada 5 Desember 1900. Bioskop tersebut bernama Gambar Idoep dan menayangkan film-film bisu.
Sebuah film bisu karya sutradara asal Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp, tercatat menjadi film Indonesia pertama. Judulnya 'Loetung Kasarung' dan rilis pada 1926.
'Loetung Kasarung' diproduksi oleh sebuah rumah produksi bernama Jawa NV yang ditayangkan pertama kali pada 31 Desember 1926 di bioskop Elite dan Majestic di Bandung.
Bila demikian, mengapa justru hari pengambilan gambar film 'Darah & Doa' yang diperingati sebagai Hari Film Nasional? Jawabannya adalah karena film tersebut dianggap sebagai film pertama yang digarap oleh bangsa Indonesia, yakni Umar Ismail.
Bukan hanya 'Darah & Doa', semasa hidupnya, Umar Ismail juga menggarap 'Tiga Dara', 'Lewat Djam Malam', hingga 'Asrama Dara' dan lain-lain.
Sejak saat itu, perfilman Indonesia pun memulai perjalanan panjangnya. Pernah berjaya, film Indonesia akhirnya mati suri di awal dekade 1990-an.
Bertahun-tahun layar-layar bioskop Indonesia justru sepi film lokal. Film Indonesia pada masa itu, gagal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Angin segar kembali datang menjelang awal 2000-an. Ditandai dengan hadirnya film-film, misalnya 'Kuldesak' (1998), 'Petualangan Sherina' (2000), hingga 'Ada Apa Dengan Cinta?' (2002), perfilman Indonesia pun akhirnya bangun dari tidur panjangnya. Puluhan, bahkan ratusan, film diproduksi setelahnya.
Kini, hampis setiap bulan Indonesia memiliki film baru, bahkan lebih dari satu. Penonton Indonesia semakin mempunyai pilihan untuk menonton film-film karya anak bangsa.
Di tahun-tahun ini, sejumlah film dinyatakan sukses meraup jumlah penonton hingga jutaan pasang mata. Sebut saja 'Ada Apa Dengan Cinta 2?' (2016), 'Warkop DKI Reborn' (2016), hingga 'Dilan' (2018).
Namun Indonesia kini tidak hanya pandai memproduksi film laris, namun juga film-film yang apik secara kualitas. Sejumlah judul, sebut saja 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak' (2017), 'Turah' (2016), 'Ziarah' (2016), hingga 'The Seen and Unseen' (2017) berhasil berjaya diberbagai festival lokal dan mancanegara.
Tentunya masih banyak permasalahan dan kekurangan yang terjadi di dunia perfilman Indonesia, namun fakta bahwa kita tengah berjalan maju ke depan adalah hal yang harus kita rayakan bersama.
Selamat merayakan Hari Film Nasional!. (dth)