Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Memiliki latar belakang jurnalistik dengan mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) dan sempat menjadi reporter di Harian Mimbar Umum, TPI dan TV7, Onny Kresnawan lebih dikenal sebagai sineas yang telah mendapatkan berbagai penghargaan nasional.
Namanya pun tertera sebagai Indonesia Doc Film Makers bersama Nia Dinata dan sineas lainnya. Kepada MedanBisnis, Onny mengatakan, bergelut dalam dunia film lebih dari hobi maupun nafkah dan menyuarakan realitas sosial, dia ingin menjalin regenerasi perfilman Sumatera Utara agar tidak terputus.
Sebagaimana diketahui, tahun 1970-an, Medan atau Sumut diakui secara nasional dalam dunia perfilman. Namun dalam prosesnya mengalami kemandegan atau mati suri. Perkembangannya saat ini, pemain dan pembuat film terus berkembang dan semakin banyak. Namun, standarisasi dan kualitasnya masih dipertanyakan.
Dia punya ide untuk naik kelas. Dia memantik semangat para insan film di Sumut untuk bersama membuat film layar lebar yang berkualitas dan memiliki standarisasi.
Alasannya naik kelas, menurutnya karena kalau mau jujur Sumut kalah dengan Aceh maupun Makassar yang semakin menguat perfilman fiksi maupun dokumenternya.
Insan film di Sumut, sudah banyak yang mendapat beasiswa, workshop perfilman baik di dalam maupun luar negeri, pendidikan film secara informal pun terus digali. Dengan demikian, menurutnya wajar jika Sumut sudah waktunya untuk naik kelas.
"Karena kita punya potensi banyak. Bahkan banyak yang sudah punya sertifikasi, jadikita kumpul lah di pembuatan film HAS. Memang ada ketersendatan karena dana. Tapi pasti ada jalan keluar," katanya kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (15/8/2018).
Apalagi, kata dia, film HAS yang dikerjakan secara 'keroyokan' diperkuat dengan talent lokal yang sebenarnya sudah bisa masuk level nasional di film pendek maupun film layar lebar misalnya Yan Amarni Lubis dan Edi Siswanto. Kru di bidang sinematografi juga sudah mendapat sertifikasi dan sering terlibat pembuatan film dengan pihak luar sehingga memiliki pengetahuan yang luas.
Dia menambahkan, film HAS adalah untuk mencambuk diri sendiri, juga untuk memberi isyarat dan edukasi kepada produser atau pemilik modal agar melihat bahwa Sumut sangat potensial dan layak dalam industri bisnis perfilman yang bisa diangkat menjadi ladang bisnis. Ketika sineas dianggap layak oleh produser dan memberi pembiayaan pembuatan film dengan standarisasi dan kualitas maksimal maka perfilman Sumut akan dapat mengejar ketertinggalan.
Saat ini adalah generasi baru terus bertumbuh. Dulu para sineas Sumut telah 'menebar virus' melalui FFA yang kini sudah tahun ke 11, para pesertanya sudah banyak yang belajar ke IKJ, Jogja Film Academy sehingga secara keilmuan berkembang. Jika di tingkat lokal tidak diwarnai maka mereka tidak akan pulang.
"Akhirnya terputus lagi lah regenerasinya. Karena di Jogja, Jakarta, Bandung, lebih berkembang sedangkan di sini begini-begini aja ya mereka tak mau pulang lah. Kita ingin mereka pulang mengembangkan ilmunya. Tapi bagaimana kalau tak ada kepedulian. Kan sayang. Mereka berkembang baik di luar sana tak membawa nama daerahnya. Kayak Joko Anwar yang lebih banyak main di luar," katanya.
Dia menambahkan, selain kerja para sineas dan pemodal, menurutnya harus ada sinergi dari pemeran lainnya mulai dari masyarakat dan pemerintah. Di daerah yang sudah maju dalam perfilmannya, sangat mudah mengurus perizinan dan pembuatannya selalu didukung masyarakat. Tidak ada gangguan dari masyarakat ketika sesi pengambilan gambar, misalnya.
"Bahkan soal properti. Di sini, kalau mau bikin film sejarah aja lah contohnya, susah karena properti yang lama-lama, kayak sepeda, mesin tik, lemari lama, baju, radio, dan lainnya tak ada lagi. Di Jogja, Jakarta, Bandung, itu tersedia semua. Kita di Medan, tahu sendiri lah," ungkapnya.
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan ini pernah terpilih menjadi peserta untuk Creative Documentary Film oleh Filmmore Academi Netherland di Bali serta Nonfiction Storytelling Workshop pada American Film Showcase U.S Consul. Dia memperoleh beasiswa Masterclass dan finalis Prohect Change 2013 Kalyana Shira Foundation (sebuah pendidikan dan produksi film bagi sineas terpilih yang digagas Nia Dinata untuk menyuarakan isu gender, perempuan dan anak yang termarjinalkan melalui film dan didanai Ford Foundation).
Dia menjadi peserta terseleksi Masterclass Festival Film Documenter (FFD) Yogyakarta 2016 serta mendapat Pendidikan Penyutradaraan Pusbang RI 2017 di Bandung. Kalangan pemerintah dan NGO internasional kerap menggunakan jasa kreatifnya dalam pembuatan video profil dan kampanye. Bentuk keseriusannya di perfilman menggerakkan semangatnya menumbuhkembangkan komunitas film serta menggagas lahirnya Festival Film Anak (FFA) di Medan. Selain menjadi juri perhelatan kompetisi film saat ini tercarar di Docnet Filmmakers Asia Tenggara dan Direktur Esefde Film atau yang dikenal dengan SFD.
Film-film yang mendapat penghargaan yakni ;
1. Omasido Sekola (Special Juri Mention Erasmusindocs International Film Festival 2013 - Kandidat Finalis Piala Maya 2013
2. Menjejak Smong di Simeuleu (film terbaik di Festival Film Dokumenter Kearifan Budaya Lokal Kemenbudpar Jakarta (2011)
3. Perempyan Nias Meretas Jalan Kesetaraan (penghargaan Tayang di Konferensi CST Asia Tenggara oleh EGPACT di BALI 2009 DAN nominasi Ganfest Bandung 2010)
4. Pesan dari Balik Kerudung (Pemenang IV Video Diary Competition Yamaha Fun 2008)
5. Berhadap Air di Atas Air 'Badai' (Pemenang III Kompetisi Film Dokumenter Manusia dan Air Forkami-USAID 2008)
6. Pantang di Jaring Halus (Nominasi & ScreenFesr Konfiden 2006 - Film Terbaik J-Fival 2007-Film terbaik II Festival Film Pendek Disbudpar Sumut (2009)
7. Goresan Anak Pemulung FFD Yogyakarta 2004).