Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Langkat.Lebih dari 20 tahun masyarakat Dusun Paluh Baru, Desa Pasar Rawa Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara, kesulitan mengeluarkan hasil pertaniannya, seperti kelapa sawit, ubi kayu, semangka, jeruk, udang dan sayuran palawija seperti cabai. Ini akibat tidak ada kepedulian pemerintah untuk membangun jembatan sepanjang lebih kurang 40 meter yang menghubungkan Dusun Kelantan menuju pusat desa dan kecamatan.
Dulu, alur sungai kecil yang memisahkan Dusun Paluh Baru dengan Dusun Kelantan itu, terbentang jembatan kayu yang bisa dilalui kenderaan seperti mobil roda 4 dan roda 6. Kala itu, jembatan dibangun secara swadaya oleh pengelola pertambakan udang dan masyarakat. Akibat termakan usia, jembatan itu roboh dan hanyut terbawa arus sungai.
Ada sekitar 300 kepala keluarga di Dusun Paluh Baru, mereka membuat jembatan darurat dari kayu bakau dan mata buaya berlantai papan, untuk bisa dilalui sepeda motor dan kereta sorong sebagai jembatan penghubung. Setiap tahunnya direnovasi akibat material jabatan yang lapuk.
Menurut warga Paluh Baru dan Kelantan, sudha 3 kepala desa yang pernah menjabat telah mengusulkan pembangunan jembatan dalam Musrenbang desa dan Musrenbang Kecamatan, namun hasilnya nihil.
Agus Rianto dan Sainun, keduanya mantan Kepala Desa Pasar Rawa, ketika ditemui Jumat (12/4/2019), mengaku, setiap dilakukannya Musrenbang, usulan pembuatan jembatan Paluh Baru menjadi agenda mereka.
"Sudah sering kami ajukan di Musrembang tentang titi Paluh Baru itu Pak", ungkap mereka berdua.
Usulan tentang jembatan itu hingga kini masih juga diajukan dalam Musrembang oleh Bambang Sibirin, sang Kepala Desa Pasar Rawa yang menjabat saat ini.
"Belum nampak realisasi kapan akan dibangun jembatan Paluh Baru. Bangunan galang pondasi beton yang ada itu merupakan swadaya pemilik kebun sawit, petambak, petani dan masyarakat," ungkapnya.
Sutris, anggota BPD Desa Pasar Rawa, mengakui dana swadaya yang sudah digunakan untuk bangunan pondasi jembatan Rp 350 jutaan.
"Sudah hampir setahun jembatan tak siap karena kekurangan biaya, yang sudah dibangun sekitar Rp 350 juta, tetapi untuk galang tengah tidak ada lagi biaya", tuturnya mengakui.
Untuk mengeluarkan hasil bumi, masyarakat melakukannya secara estapet, dari lahan ke pelataran motor boat, lalu dimuat dalam boat, kemudian melalui jalur sungai menuju seberang jembatan.
"Untuk kami yang tidak menggunakan motor boat, hasil tanaman diangkut golak-golah, mobil pick up dari lahan ke pangkal jembatan, kemudian dibongkar dan dilansir dengan kereta sorong melalui jembatan darurat, barulah dimuat lagi ke kenderaan. Intinya biaya pengeluaran produksi dan ongkos keluar masuk yang tinggi," sebut Haji Buyung, Balimbing, petani sawit di Paluh Baru.