Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya mencoba mengukir proposal untuk Presiden Jokowi lima tahun ke depan. Tapi, sory, proposalnya hanya kecil-kecilan. Sebutlah, industri sepatu. Saya terbayang jika pemerintahan Jokowi mengeluarkan seruan agar para pejabat, baik sipil, polri dan militer, termasuk para dosen dan guru, tenaga kesehatan dan sebagainya dianjurkan memakai sepatu buatan dalam negeri.
Saya terbayang sepatu buatan Cibaduyut, nun di Jawa Barat sana akan laris manis. Kira-kira kalau di Sumatra Utara (Sumut), ya, buatan Bunut, Asahan. Tentu saja tak melupakan sepatu domestik buatan daerah lainnya di seantero tanah air.
Alangkah elok jika diperluas lagi dengan produk lainnya. Misalnya, baju batik, mebel dan sebagainya. Lalu, diakomodasi melalui SKB beberapa menteri. Sifatnya imbauan dan tanpa sanksi. Yang penting para pemimpin di pusat dan daerah, berikut isteri dan anak-anaknya menjadi contoh memakai produk dalam negeri. Lama-lama khalayak ramai pun terpengaruh.
Begitulah, sehingga industri dalam negeri akan mengalami kebangkitan sehingga suatu hari bisa kompetitif dengan barang impor.
Sebab jika kita terpukau selalu membeli produk impor, maka duitnya akan melayang ke luar negeri. Industri orang asing makin maju, dan industri kita tetap minder, baik dalam mutu dan marketing.
Mesti diberi kesempatan kepada industri domestik untuk bangkit. Inilah nasionalisme baru, yang membangkitkan industri sendiri agar setara dengan bangsa-bangsa lain.
Tema lain adalah penghematan nasional secara simultan. Terbitkanlah peraturan kepada segenap pejabat negara dan daerah, termasuk DPR dan DPRD, tak boleh bepergian ke luar negeri tanpa manfaat yang jelas dan mendesak.
Sebab tiket pesawat, hotel dan uang saku ke mancanegara sangat mahal. Apalagi rupiah masih bermain di kisaran Rp14.000 per dolar AS.
HUT departemen, TNI Polri dan sejenisnya, termasuk halalbinhalal dan peringatan Natal serta berbagai pengeluaran seremonial, seperti resepsi perkenalan dan perpisahan pejabat lama dan baru, boleh saja dirayakan. Tapi dengan biaya minimal.
Seminar dan segala diskusi atas nama kegiatan pemerintah maupun swasta juga tanpa biaya. Tak perlu coffee break, makan siang hingga dinner di hotel mewah. Apalagi yang meriah malah makannya, bukan seminarnya.
Syahdan, seminar di luar negeri, seperti di Amerika Serikat sampai empat jam sama sekali tanpa suguhan makan dan minum.
Kalau di Indonesia, baru lima belas menit setelah pembukaan sudah ada coffee break. Selesai tiga jam lalu lunch. Dilanjutkan sampai agak sore, ya, coffe break lagi. Ini peluang besar untuk mark up. Hitung saja berapa seminar di seluruh kota di Indonesia selama setahun.
Usulan tentang UU Hidup Sederhana, tak perlulah. Sebab soal ini pun relatif dan debatable. Sederhana di awak tidak bagi orang lain, walaupun ada yang sifatnya common sense. Resepsi perkawinan anak pembesar di Singapura tentu saja mewah. Apalagi jika ada anak pejabat yang mau pacaran saja pakai helikopter.
Lagi pula kita kan bangsa paternalistis yang suka meniru bapak atau para pemimpin. Jika para bos hidup sederhana, tentu akan merembes ke bawah. Jika bos bergaya hidup mewah meski (mungkin) sumber duitnya tanda tanya, maka bawahannya pun ketularan pula.
Saya ingat dulu ada guru besar USU Medan yang jalan kaki ke kampus. Jika tak salah, namanya, Soangkupon Siregar. Padahal mobilnya ada. Ada mahasiswa yang bertanya, mengapa jalan kaki, Pak? “Kau memang bodoh. Ya, berjalan kakilah, tak mungkin saya merangkak,” kata sang mahaguru.
Berapa pula biaya perjalanan rombongan presiden dan wakil presiden ke daerah, dan ke luar negeri? Padahal, masih banyak kaum miskin dan puak pengangguran di negeri ini.
Jika efisiensi sudah menjadi “lagu wajib” dan berbagai keran untuk korupsi disumbat, maka uang yang tadinya hilang bisa berfungsi riil dan konkret. Kita bisa membangun berbagai kebutuan publik yang mendorong laju pertumbuhan dan menampung tenaga kerja, sehingga rakyat berdaya secara ekonomi.