Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Di mana saja, kapan saja, asyik dengan gadget. Misalnya, saat orang menunggu penerbangan di bandara. Juga saat menyeruput kopi di kafe. Uniknya, sepasang orang muda yang pacaran di taman pun asyik dengan gadget. Bukannya bercengkerama dengan romantis.
Ironisnya, minat membaca buku sangat mencemaskan. Menurut data World's Most Literate Nations, peringkat literasi kita berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara pada 2016. Data UNESCO pada 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001%. Dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang gemar membaca buku.
Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai 25-27%. Minat baca di Jepang mencapai 15-18%.
Berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet, ternyata dari 264 juta jiwa penduduk Indonesia, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8% yang sudah terhubung ke internet pda 2018. Angka ini meningkat dari 2017 yang mencapai 54,86%.
Begitulah, menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ( APJII).
Maraknya televisi, internet dan gadget memang bak “merampok” minat baca. Tetapi sebetulnya bisa disikapi dengan membuat perpustakaan konektif dengan internet. Apalagi kaum milenial gemar menggali informasi lewat internet. Pengelola perpustakaan perlu meningkatkan fasilitas teknologi dalam penyediaan jasa layanan di perpustakaan.
Tapi bagaimana pun membaca buku secara konvensional, lebih asyik. Dibandingkan menonton televisi, membaca membuat kemampuan imajinasi lebih kuat. Memacu otak dalam berpikir dan berkonsentrasi serta memperkuat memori. Menghindari penyakir alzheimer dan pikun.
Malah bisa berempati terhadap orang lain. Membaca novel John Steinbeck berjudul “The Grapes of Wrath” tentang depresi besar perekonomian Amerika Serikat pada 1930-an, kita merasakan penderitaan keluarga Tom Joad yang terjerat hutang. Para debt collector, dengan upah tiga dolar sehari, tega mengusir keluarga Tom. ”Oh my God, hanya untuk tiga dollar, ratusan orang pergi dan menggelandang di jalanan..”
Kisah keluarga Tom yang migrasi ke tanah harapan, California sangat mendebarkan. Sang kakek menghembuskan nafas terakhir, menyusul kematian seekor anjing mereka.
Ayo, anak bangsa, mari gemar membaca. He-he, nanti keburu pikun, lho?