Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempeskan. Pepatah ini mengingatkan saya kepada sikap protektif Uni Eropa (UE) yang gemar menuduh CPO Indonesia merusak kesehatan, dan lingkungan. Padahal, yang sebenarnya terjadi, justru karena produk lokal mereka tersaingi oleh CPO dari Indonesia.
Dengan kata lain, UE tidak ingin produk kelapa sawit mendominasi pasar mereka. Soalnya, mereka mempunyai produk pesaing sejenis seperti minyak dari rapseed, kedelai dan bunga matahari. Nah, ketiga produk ini ternyata tidak efisien dan kalah bersaing dengan CPO dari Indonesia.
Tak heran jika UE gemar melontarkan kampanye negatif, yang tidak benar, bahwa penanaman kelapa sawit di Indonesia disertai pembakaran hutan untuk pembukaan lahan baru perkebunan, pemusnahan habitat Orang Utan dan sebagainya.
Indonesia memang menghasilkan 25 juta ton CPO dalam setahun, terbesar di dunia dengan luas lahan 9,5 juta hektare. Tak ayal, jika perkebunan sawit juga mampu memberdayakan masyarakat dengan terbukanya lapangan pekerjaan, serta berkontribusi dalam penanggulangan kemiskinan.
Karena itu Indonesia terus bertekad memperjuangkan CPO, serta juga karet agar masuk dalam produk ramah lingkungan. Apalagi fungsi sosial ekonominya juga sangat signifikan. Tak hanya menampung tenaga kerja yang luas, tetapi juga berhasil melerpaskan sebagian masyarakat dari kuluman kemiskinan.
Karena itu, kita patut mendukung ikhtiar pemerintah menggugat UE ke WTO, organisasi perdagangan dunia itu, sehubungan sikap diskriminatif UE tersebut. Kita berharap WTO bisa berlaku adil dan fair.
Dalam pada itu, Indonesia juga mendukung perdagangan bebas, seperti Perdagangan Bebas China dan Asean. Sayang UE sepertinya menganut standar ganda dalam soal perdagangan bebas. Jika kepentingan mereka terganggu, mereka balik melontarkan isu negatif soal CPO Indonesia, sehingga pepatah tiba di mata dipincingkan, memang patut disematkan kepada UE dan sekutunya.