Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejumlah pemerhati budaya Batak mengusulkan agar nomenklatur penyebutan desa, perangkat maupun sistemnya, di Tanah Batak dikembalikan sesuai dengan nafas budaya masyarakatnya. Yakni kembali merujuk sistem bius.
Hal itu untuk menghidupkan kembali perangkat-perangkat budaya dan nilai-nilai budaya itu sendiri.
Pengusulan itu disampaikan para pemerhati budaya dalam diskusi "Menakar Potensi dan Kekuatan Bius di Era Milenial" yang digelar Komunitas Bumi. Diskusi berlangsung di Caldera Coffee Jalan Sisingamangaraja Medan, Kamis sore (6/2/2020). Diskusi dipantik Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak.
"Dari penelitian kami ke lapangan, saat ini eksistensi bius di Tanah Batak semakin tergerus. Salah satunya dugaan kami, karena kehadiran UU Desa. Padahal seperti kita tahu, peran raja-raja bius di Tanah Batak sangat penting mengatur jalannya adat, relasi sosial maupun berkaitan dengan ekonomi," kata Roganda.
UU Desa itu, sambung Roganda, tidak memberikan ruang bagi raja-raja bius sehingga peran mereka di masyarakat perlahan-lahan mati dan hilang dari kehidupan masyarakat Batak.
Hal lain yang menggerus eksistensi bius itu, sambung Roganda, akibat hilangnya onan na marpatik (pasar bersama) dan hutan adat. Padahal dalam prakteknya raja-raja bius banyak berperan di keduanya dalam hal pelaksanaan aturan dan pemanfaatan.
Salah seorang peserta diskusi, John Robert Simanjuntak mengatakan, kenyataannya regulasi seringkali memberangus kearifan-kearifan yang ada di masyarakat adat. Di Tanah Batak, kata John, sebelum ada kepala desa dan perangkat-perangkat desa, sudah dikenal raja-raja bius. Merekalah yang mengatur penggunaan air, pemanfaatan hasil hutan, pengaturan dan penggunaan tanah, pembukaan hutan maupun berkaitan dengan pertanian.
"Saya kira, seandainya penyebutan nomenklatur desa dan perangkatnya itu kembali kepada sistem bius, fungsi dan nilainya akan dengan mudah langsung beroperasi. Keberadaan mereka tergerus karena memang dihilangkan atas nama kebijakan politik pemerintahan modren. Kenapa di Tanah Batak harus menggunakan kata "desa" atau "dusun". Mengapa tidak "huta".
Padahal di berbagai daerah di Indonesia, sambung John, masih banyak yang mempertahankan istilah lokal mereka. Misalnya istilah "nagori" di Minang. Begitu juga di Bali dan Ambon. Menurut John, kebudayaan itu penting sebagai benteng terakhir untuk mempertahankan dataran tinggi Batak dari ancaman penguasaan orang luar.
Peserta diskusi lainnya Miduk Hutabarat meragukan kemungkinan itu. Ia meragukan sistem bius masih ada yang utuh dan eksis di Tanah Batak.
"Jangan-jangan ketika nanti diusulkan, kita kesulitan untuk mereduksi sistem bius itu, karena tidak ada model yang representatif yang masih eksis.
Peserta diskusi lainnya, mewakili masyarakat adat Dolok Parmonangan, Taput, Sudung Siallagan, mengatakan, di kampungnya sistem bius masih berlaku. Raja-raja bius berperan dalam banyak hal termasuk memutuskan hukuman bagi seseorang yang melanggar adat. Begitu juga dengan pemanfaatan hasil hutan antar desa, aturan raja-raja bius harus dipatuhi.
"Misalnya kalau ada yang mengambil hasil hutan di luar ketentuan aturan raja-raja bius, ia akan dihukum dengan diusir dari kampung. Dengan aturan itu, masyarakat tidak sembarangan mengambil hasil hutan," kata petani kemenyan ini.
Tambahan informasi jauh, bius adalah sistem konfederasi di Tanah Batak. Sistem ini sudah dipraktekkan sejak ribuan tahun lalu. Bius merupakan gabungan dari huta/desa yang dipimpin raja-raja bius. Raja-raja bius merupakan perwakilan huta dan merupakan forum musyawarah bersama. Raja-raja bius juga berperan dalam mengatur pengelolaan maupun pemanfaatan alam sekitarnya.
Saat moment tertentu, bius juga menggelar acara syukuran panen yang disebut horja bius. Masyarakat antar huta itu menggelar ritual berdoa bersama sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas panen yang berlimpah.