Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya terperanjat. Oplah koran-koran di Medan rata-rata tembus di atas 50.000 eksemplar setiap hari. Puluhan armada minibus pengangkut surat kabar dari Medan ke kota-kota di provinsi ini sudah meluncur sejak sebelum subuh.
Agen besar dan subagen koran dalam kota juga ramai mendistribusikannya. Koran-koran bergelantungan di banyak kios. Belum lagi anak koran yang menjajakan suratkabar di berbagai lampu setopan.
Apa gerangan yang terjadi? Rupanya sudah lama koran Medan berubah secara total. Berita-beritanya selalu menulis tentang apa yang tidak diketahui pembaca. Misalnya, tentang suka duka penjaga pintu palang rel kereta api. Tentang, para buruh yang bekerja di ketinggian membangun gedung-gedung jangkung.
Ada pula tulisan yang bercerita tentang hobi pejabat dan anggota DPRD di masa senggang. Termasuk tentang pasokan buah durian yang selalu bergiliran dari daerah ke kota Medan. Jadinya, stok durian di kota Medan tak pernah sepi. .
Ada saja berita baru. Padahal yang diberitakan selalu ada di pelupuk mata publik, tapi tak pernah dieksplorasi. Bisa tentang siasat pedagang di pusat pasar dan pasar tradisonal, juga pedagang kailima. Belum lagi gairah konsumen di berbagai pusat kuliner.
Yang diungkap tentu saja bukan yang dipermukaan, Yang kasat mata. Tapi sesuatu di belakangnya. Ya, another story, cerita di balik peristiwa
Sudah jarang pula memberitakan peristiwa seremonial. Pelantikan dan serah terima pejabat. Seminar. Musda partai politik dan semacamnya sudah diabaikan.
Jika pun diberitakan lebih fokus kepada profil pejabat baru yang human dan entertainment. Perdebatan yang unik dalam seminar. Bisa juga tentang jalannya Musda Parpol yang penuh debat atau malah ramai dengan “kor” serba setuju. Lalu, ketok palu dan fenomena demokrasi pun lenyap.
Wilayah Imajinasi
Pembaca pun bergairah. Yang tadinya setop berlangganan, kini kembali berlangganan. Malah semakin berlipatganda. Mereka menjadi mengenali dunia sekitarnya dengan jelas. Dia pun menjadi tahu mau berbuat apa berkat informasi media.
Tak hanya yang belum diketahui pembaca yang diberitakan. Tetapi juga yang ingin diketahui pembaca. Misalnya, berapa pendapatan ruas jalan tol di daerah ini. Sudah beruntung atau masih jauh panggang dari api.
Mengapa turis asing ke Danau Toba belum mencapai 1 juta orang juga ditelisik. Adakah somethings wrong. Apakah karena masyarakat di kawasan Danau Toba kurang suka tersenyum, atau bagaimana?
Bagaimana kelanjutan dugaan pencemaran Danau Toba? Kok jalan di tempat. Kok, pemerintah belum bersikap tegas. Kok, hanya wacana-wacana tanpa follow up?
Saya kira yang ingin diketahui pembaca itu banyak sekali. Tinggal pasang mata dan kuping serta putar otak. Bukankah jurnalis memang bekerja untuk pembaca. Ya, jualan berita, tapi bukan dalam pengertian kong kali kong.
Salah satu kenikmatan membaca adalah pada theater of mind. Peristiwa-peristiwa yang diberitakan hadir bagaikan tontonan teater di benak pembaca. Pembaca menjadi aktif, imajinasi dan fantasinya dibangkitkan. Tidak seperti tayangan televisi yang langsung instan.
Wajah koran pun memanjakan mata. Judulnya memikat. Tulisannya tidak bertele-tele tapi padat. Foto-fotonya atraktif. Bukan foto dokumentasi departemen pemerintah yang memajang foto pejabat berdiri atau duduk berjejer yang kaku dan menjemukan.
Pengelola koran menyadari bahwa berita-berita macam itu memerlukan sumber daya manusia (SDM), para reporter, redaktur dan fotografer yang kreatif dan inovatif.
Karenanya penerbit suratkabar sukarela menyediakan dana untuk pelatihan SDM yang kompeten dan mumpuni. Barangkali, itulah sebabnya oplah koran kian menggelembung.
Namun, maaf beribu maaf, para pembaca! Menyesal sekali, apa yang saya ungkapkan dari tadi belumlah menjadi realitas. Dia masih berada di wilayah imajinasi yang menggelegak. Entah kapan impian ini terwujud. The dream comes true!