Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Porjan dan Bargot, dua sahabat akrab itu berbincang-bincang tentang “jejak-jejak” Belanda di Danau Toba di sebuah kafe. “Ada lho Terusan Wilhelmina di Danau Toba,” kata Bargot kepada Porjan. “Wah, di mana itu,” seru Porjan.
“He-he, itu nama lain dari “Tano Ponggol” (Tanah Terpisah).” Kata Bargot. “Ah, itu saya tahu. Itulah terusan yang melintasi tanah genting (menyempit) di Pangururan, menghubungkan teluk di bagian selatan dengan teluk di bagian utara danau”.
Memang adalah pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu) yang membangun terusan itu pada 1905 silam. Lalu, mengabadikan nama Ratu Belanda tersebut.
Syahdan, terusan dibangun dengan sistem rodi. Penduduk setempat dipaksa menggali terusan sepanjang 1,5 km di bawah kawalan tentara Belanda. Tanpa digaji dan hanya mendapat makan seadanya.
Ratu Belanda kemudian meresmikannya secara simbolik pada 1913. Pembangunan itu dimaksudkan memudahkan arus logistik militer, ekonomi, dan Pemerintahan Pemerintah Kolonial di kawasan tersebut. Sebelumnya, dilakukan dengan cara menyeret perahu.
Namun sejak 2018, Pemerintah RI sedang memperlebar Terusan Tano Ponggol hingga 80 meter. Pelebaran dan pendalaman ini untuk memudahkan kapal untuk berlayar mengelilingi Danau Toba Nantinya akan dapat dilewati oleh kapal pesiar besar berbobot 2.000 DWT (Dead Weight Tonnage).
Tak hanya itu. Pemerintahan Belanda juga membuka isolasi Tanah Batak ke 'dunia luar', khususnya ke Pematangsiantar pada 1915. Pemerintah Hindia Belanda juga membangun jalan raya dari Parapat ke Balige bersambung ke Tarutung pada 1917 dan 1920 ke Sibolga, dan menuju Sumatera Barat. Semenjak itulah, kawasan Tapanuli semakin terbuka.
Bargot dan Porjan membincangkan itu sehubungan dengan kedatangan Raja dan Ratu Belanda, Willem Alexander dan Ratu Maxima rencananya 13 Maret 2020 ke Danau Toba.
“Ada lagi Hotel Inna Parapat,” kata Bargot. Hotel legendaris itu sudah berdiri sejak 1911. Awalnya digunakan sebagai pusat penyebaran agama Kristen. Kemudian, pada 11 Februari 1919 menjadi usaha hotel dengan nama Hotel Enhandel Maatschapij Toba.
Hotel ini kemudian dinasionalisasi pemerintah Indonesia pada 14 Desember 1957. Sempat berganti-gani pengelola lalu kemudian dikelola oleh PT Hotel Indonesia Nature, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Uniknya, ada sebuah areal yang menyerupai suasana Belanda. Bahkan lengkap dengan kincir anginnya. Tak heran kalau wisatawan banyak yang sengaja datang hanya untuk berfoto-foto ria,” kata Bargot.
Porjan tiba-tiba menyela. “Jangan lupa ada juga rumah tahanan di mana Bung Karno pernah menempatinya di Parapat pada selama 1,5 bulan pada Januari 1949,” kata Porjan. Rumah tahanan ini dibangun pada 1920, persis menghadap ke Danau Toba.
Bekas rumah tahanan Bung Karno masih terawat rapi hingga kini. Di sana tersimpan lukisan, foto, koleksi buku dan benda-benda bersejarah lainnya. Kini bekas rumah tahanan Bung Karno itu menjadi milik Pemda Provinsi Sumatera Utara.
Terlepas dari plus minusnya, pemerintah kolonial Belanda telah membuka isolasi Danau Toba. Arus turis berdatangan walau sangat sedikit catatan tentang wisatawan Eropa yang berkunjung di masa Hindia Belanda ke Danau Toba.
Belakangan, Pemerintah Indonesia menyempurnakannya dengan menetapkan Danau Toba sebagai satu di antara 10 destinas wisata super prioritas. Berbagai infrastrukur pun dibanun agar Danau Toba semakin terbuka dengan dunia luar.
Selamat datang, Raja Willem dan Ratu Maxima. Semoga hubungan Indonesia-Belanda semakin mesra. Tabik!