Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Lockdown kini menjadi buah bibir. Malaysia menerapkann sejak Rabu (18/3/2020). Inilah langkah negara jiran itu untuk menangani wabah virus corona.
Hingga 31 Maret 2020, Malaysia menghentikan semua acara keagamaan, olahraga, dan perkumpulan sosial serta budaya. Semua ruang publik terkait urusan bisnis dan keagamaan juga ditutup. Tapi toko makanan, kebutuhan pokok dan pasar tetap dibuka.
Juga melarang bepergian ke luar negeri bagi semua warga. Yang baru datang dari luar negeri diharuskan mengisolasi diri sendiri. Semua turis dan pendatang dilarang masuk ke Malaysia.
Semua sekolah dan universitas ditutup. Penghentian aktivitas seluruh agensi pemerintah dan perusahaan swasta, kecuali layanan-layanan penting seperti air dan listrik, telekomunikasi, jasa pengiriman, transportasi, bahan bakar, gas, minyak, penyiaran, perbankan, institusi kesehatan, farmasi, dinas pemadam kebakaran, pelabuhan, bandara, penjara, layanan kebersihan dan penyaluran makanan.
Indonesia, seperti kata Presiden Jokowi, belum memikirkannya. Memang, jika dilaksanakan akan mengganggu aktivitas ekonomi, karena tidak semua pekerja dapat melakukan work from home alias bekerja di rumah, seperti sudah dilakukan beberapa instansi.
Menurut Lindsay Wiley, dari Washington College Law, definisi lockdown terlalu luas karena mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan sekolah, hingga menutup akses satu daerah dalam waktu tertentu.
Apa yang terjadi jika Jakarta lockdown? Para pakar memperkirakan ekonomi nasional bisa masuk dalam jurang krisis lebih cepat dari perkiraan awal. Sebanyak 70 persen peredaran uang ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral bertempat di DKI Jakarta.
Mungkin, membuat orang melakukan penarikan uang di bank untuk memborong barang-barang kebutuhan pokok. Sementara panic buying memperparah stok persediaan bahan pangan.
Kepanikan masyarakat dalam memborong bahan kebutuhan pokok, dan farmasi (obat-obatan, masker, penyanitasi tangan) memperdalam risiko terjadinya inflasi.
Orang kaya mungkin repot. Tap masih bisa bertahan. Tapi golongan menengah ke bawah harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang.
Bagaimana pula dengan driver ojol bingung karena order mendadak sepi? Orang miskin, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit ketika banyak toko-toko tutup. Belum lagi sektor UMKM didera pembeli yang lengang. Buruh pabrik tak mungkin pula bekerja dari rumah. Dan sebagainya, dan sebagainya. Apalagi disusul lockdown secara nasional semakin kompleks akibatnya.
Berbeda dari Cina, di mana stok kebutuhan pangan untuk memasok warga yang dikarantina dalam apartemen, rumah, dan gedung-gedung dipasok merata oleh Pemerintah Cina. Di Wuhan, negara hadir menyiapkan kebutuhan warganya.
Mahasiswa Indonesia sedang diisolasi dalam kamar asramanya di Wuhan, dipenuhi kebutuhan makan selama berminggu-minggu oleh pihak kampus.
Bagaimana dengan stok pangan di Indonesia? Jika Bulog menyediakan pasar murah, akan mengundang massa antrean yang massif – dan rawan potensi penularan corona. Fantastis rasanya jika pemerintah mendistribusikannya dengan cara door to door. Bagaimana dengan kesiapan aparat di negeri kepulauan yang sangat luas ini.
Memang, mungkin hanya untuk sementara. Katakalah dua pekan. Namun harus dipertimbangkan dampaknya yang meluas harus tetap terkendali. Mungkinkah?